Dua puluh delapan hari yang lalu aku juga duduk di depan komputer yang disediakan perpustakaan kota, judulnya persis sama “Hari Selasa”. Niat untuk rutin menulis kembali tertunda karena setelah aku mengunggah tulisan “Hari Selasa” bapakku berpulang, tepatnya hari Rabu, 19 Desember 2018.
Ternyata seperti ini rasanya kehilangan seseorang yang dicintai. Tidak ada pertanda, tidak ada kalimat perpisahan, semua terjadi tiba-tiba. Hari itu setelah selesai menulis dan melakukan riset di PLN yang berada di dekat perpustakaan, aku segera pergi ke rumah temanku. Seperti biasa aku tidak ingin segera pulang jadi aku ingin bermalas-malasan saja di rumah Farah. Sejujurnya aku hanya ingin menumpang tidur karena jam tidurku yang tidak beraturan selama beberapa bulan ini. Aku hanya tidur selama dua tiga jam karena harus bergantian menjaga bapak dengan ibukku. Aku sudah terbiasa, hanya mengeluh sesekali tapi sering eh bagaimana ya. Aku harus terjaga semalaman sampai subuh dan membiarkan ibuku beristirahat. Bapakku tidak bisa ditinggal sendirian. Tubuhnya sudah lemas sekali, penyakit yang menyerang bapakku selama dua tahun ini perlahan membuat semua sistem saraf bapakku melemah dan akhirnya tidak berfungsi sama sekali.
Singkatnya setelah puas merebahkan diri di kasur empuk milik Farah aku berpamitan untuk pulang ke rumah. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, aku berkendara perlahan sambil melamunkan banyak hal. Sampai rumah adzan maghrib berkumandang, aku bimbang memutuskan akan mandi atau tidak dan akhirnya kupilih mencuci muka dan berganti baju saja lalu sholat maghrib. Bapak berbaring di kasur belakang, seperti biasa. Setelah sholat maghrib aku bermalas-malasan lagi sambil membuka tutup media sosial. Sesekali beranjak dari duduk karena bapakku memanggil untuk meminta tolong ini itu (Bapakku tidak bisa menggerakan kedua tangan dan kakinya, jadi untuk tidur miring ke kanan atau kiri harus dibantu)
Pukul tujuh malam ibukku memindahkan bapakku ke kursi roda (untuk hal ini hanya ibuku yang bisa, bapak hanya mempercayai ibuk, aku hanya membantu mengangkat tubuhnya sedikit dan memegang erat kursi roda) Bapakku suka menonton televisi, khususnya sinetron dan sepak bola. Setiap hari bapak selalu bertanya ada pertandingan apa hari ini? Sambil disuapi oleh ibuk, bapak terpaku menonton televisi dan merintih kesakitan di saat bersamaan. Bapak merasa seluruh badannya sakit semua. Aku tidak menunjukkan simpati sama sekali karena sudah terbiasa, hanya ketika kepala bapakku tertunduk aku sigap segera membantu. Leher bapakku juga ikut melemah jadi tidak bisa menggerakkan kepalanya.
Satu jam setelahnya ibuku sudah menyuruhku menutup pintu, aku menggerutu karena masih pukul delapan malam. Ya jam delapan malam di desaku sudah terasa sepi sekali, pintu rumah para tetangga sudah tertutup sejak tadi. Krik krik krik uh membosankan. Kuturuti kata ibuku untuk menutup pintu. Bapakku sudah mengeluh punggungnya sakit karena terlalu lama duduk, ibuku segera menata tempat tidur dan aku mendorong kursi roda bapakku masuk ke dalam kamar. Yah mari kita mulai jam jaga malam ini dengan menonton film pikirku saat itu. Kusuruh ibuku beristarahat dan mengisyaratkan kepada bapakku untuk memanggilku saja.
Ruang keluarga tempatku menonton televisi berada tepat di depan kamar bapakku. Jadi kuposisikan dudukku tepat di depan pintu kamar jadi aku bisa melihat bapakku dengan leluasa. Volume suara bapakku semakin melemah, jadi sebelum bapakku memanggil saat terdengar suara merintih aku harus segera menghampiri bapakku.
Aku memilih untuk menonton program acara Korea “Show Me The Money” yang ada di komputerku, dan sampai saat ini aku tidak tahu kenapa aku punya file program acara ini, sepertinya ada yang tidak sengaja memindah datanya di komputerku. Lampu ruang tengah kumatikan, aku menikmati hentakan musik hip hop sambil terus melirik ke arah kamar. Tidak ada perasaan apa-apa malam itu, aku hanya merasa wajah bapak pucat sekali. Saat kuperiksa suhu tubuh bapakku tinggi, badannya panas. Aku tidak curiga karena beberapa hari yang lalu bapakku juga sempat demam. Rencananya besok kami akan memanggil dokter untuk memasang infus karena bapak menolak untuk makan. Bapak kesusahan untuk menelan karena saraf di tenggorokannya juga ikut melemah.
Aku menengok ke arah kamar terus menerus malam itu, seperti merasa bapak memanggil-manggil namaku. Saat kuhampiri beliau terlelap tapi raut wajahnya tenang. Sesekali bapak memanggil untuk meminta menata posisi kepalanya agar lebih nyaman. Hal itu terus berulang sampai adzan subuh dari musholla sebelah rumahku terdengar. Ah waktunya tidur, sambil menahan kantuk kumatikan komputer dan beranjak untuk mengambil air wudhu.
Ibuku terbangun, lalu segera sholat subuh. Aku meminta ijin untuk tidur sebentar. Mendadak setelah terkena air wudhu kantukku menghilang. Biasanya jam-jam tersebut bapakku akan intens memanggil jadi dengan keadaan setengah tidur dan marah-marah aku menghampiri bapak. Tapi hari itu bapakku sangat tenang, karena merasa aneh beberapa kali aku memastikan. Bapakku masih tertidur dengan wajah masih pucat dan kuputuskan untuk tidur sebentar.
Mataku terasa berat dan kepalaku pusing ketika ibuku membangunkanku,”Nduk bangun… ke belakang sebentar temenin bapakmu ibuk mau keluar sebentar.” Aku hanya mengerang, lalu tertidur lagi. Beberapa menit kemudian ibuku kembali membangunkanku katanya ada nenekku di belakang. Aku segera terbangun dengan terpaksa, mataku masih setengah terpejam saat aku menghampiri nenekku dan bapakku di ruang makan. Saat itu bapakku sedang duduk membelakangiku, tepatnya menghadap televisi di ruang makan dan nenekku berdiri di sebelahnya.
Ibuku sedang menyuapi bapakku, tapi bapakku menolak. Ibuku terlihat cemas karena sejak kemarin bapaku hanya makan sedikit. Nenekku menyarankan untuk merebahkan bapakku saja. Bapakku hanya diam saja tapi batuk-batuk seperti tersedak. Aku mengikuti mereka ke arah kasur bapakku satunya yang terletak didepan kamar adikku.
Setelah memindah bapakku dari kursi ke atas tempat tidur ibukku berteriak. Ada air menggenang di kursi bapakku. Ibuku setengah berteriak menanyai bapakku yang diam saja,”Pak.. pak kok pipis ngga bilang-bilang to, pak.. bapak..”
Jantungku berdetak lebih cepat saat itu juga, tidak… ini bukan… tidak mungkin. Nenekku menyuruh mengambil celana baru untuk bapak. Aku segera beranjak dan mengambil celana bapak. Ibuku terus menanyai bapakku dan suaranya seperti hampir menangis. Setelah mengganti celana bapakku, ibukku terduduk lemas dan nenekku membelai kepala bapakku sambil membisikkan kalimat-kalimat. Aku berdiri terpaku memandang bapakku yang terpejam dan mulutnya seperti mengeluarkan suara orang mendengkur.
Tidak… tidak.. kumohon jangan… aku mencoba menenangkan diriku. Nenekku masih terus mengusap kepala bapakku sambil membaca doa-doa. Aku segera membangunkan adikku, dia berteriak marah tapi aku memaksanya dan berteriak lebih kencang lagi. “Dik bapak dik, ini beneran!”
Adikku kaget melihatku berteriak dan menahan tangis. Kami berdua berlari keluar, merangkul ibukku yang mulai menangis. Bapak masih terus mengeluarkan suara dan matanya terpejam.
“Dik, panggil orang kesini, cepat!”
Nenekku menyuruh adikku memanggil tetanggaku, seorang imam di mushola sebelah rumahku. Tidak lama kemudian adikku datang diikuti dua orang tetanggaku. Ibuku menangis, adiku menangis dan aku masih melihat bapakku dengan tidak percaya. Lalu bapakku terdiam tidak mengeluarkan suara apapun. Tetanggaku meraba tubuh bapak untuk memastikan dan kalimat yang keluar dari mulutnya saat itu membuatku berteriak histeris.
Kami bertiga berpelukan lalu menangis, dan orang-orang mulai berdatangan. Seketika aku marah ketika para tetanggaku datang, kenapa mereka ke rumahku? Bapakku baik-baik saja, bapakku hanya tertidur teriaku waktu itu. Aku bahkan menarik kain yang akan digunakan untuk menutup bapakku. Aku tidak terkendali waktu itu, semua kenanganku dengan bapak semua sikap kasarku ke bapak terus berputar dan itu membuatku marah dan menyesal.
Kemudian kusuruh adikku menelpon kakakku yang sedang bekerja dan saudara-saudara terjauhku. Aku masih terduduk dan terus menangis. Kulihat adikku menelpon sambil menangis. Kusentuh kaki bapakku, aku masih yakin bahwa bapak hanya tertidur. Aku bahkan tidak ingat siapa yang kubentak dan kutepis tangannya ketika mereka mencoba untuk mendekatiku. Aku mulai tersadar dan menerima bahwa bapakku benar-benar telah tiada, sambil menangis kucium kening bapakku. Aku tidak tahu siapa yang membimbingku untuk berdiri dan berganti baju karena orang-orang mulai berdatangan. Aku menolak melihat tubuh bapakku yang sudah ditutupi kain. Kepalaku pusing dan air mataku seperti tak pernah habis. Aku memeluk adikku lama sekali.
Setelah berpindah tempat kukabari teman-teman terdekatku, mereka terdengar kaget karena aku menelpon mereka dan hanya menangis. Rasanya aku hanya ingin menjauh dari orang-orang dan menangis sendirian. Tetapi lebih banyak lagi orang berdatangan dan kuabaikan karena aku masih terus menangis memeluk ibuku.
Ibuku terlihat masih terkejut, ibuk menangis dan tatapannya nanar. Bahkan sampai saat ini ibuku masih sering terbangun di tengah malam, menangis memanggil-manggil bapakku.
Aku tidak ikut mengantar jenazah bapakku, hanya adik dan kakakku. Aku tidak sanggup melihat, aku lemas dan yang kulakukan hanyalah menangis. Semuanya terjadi sangat cepat dan aku masih belum terbiasa dengan ketidakhadiran bapak. Semua kebiasaan yang kami lakukan selama satu tahun terakhir setelah aku wisuda rasanya masih berbekas. Setiap sudut rumahku mengingatkanku tentang bapak. Kusibukkan diriku ketika pikiran tentang bapak muncul. Perasaan bersalahku begitu menyiksa, segala penyesalan seperti kalau saja aku memperhatikan bapakku lebih baik, kalau saja aku bisa menahan emosiku.
Seminggu kemudian aku baru ke makam bapak, kulihat gundukan tanah itu lama sekali. Siapa yang menyangka bapakku sekarang sudah pindah tempat tidur, bapak pasti kedinginan. Dan ingatan tentang bapak yang memanggilku untuk menyelimutinya terbesit. Gambaran ingatan ketika aku membentak bapak, menyuapi bapak, mengganti baju bapak, menonton bola dengan bapak rasanya begitu menyakitan. Semua kenangan masa kecil hingga dewasa bersama bapak begitu berharga.
Pelan-pelan kami menerima ketidakhadiran bapakku di tengah keluarga, perlahan kami menerima kepergian bapak yang membut rumah terasa semakin sepi. Walau masih sakit kami sudah ikhlas, walaupun masih tidak percaya kami hanya harus terus berdoa demi bapak, untuk bapakku tercinta.