Kapan Kapan

Setiap kali mengunggah foto datang ke pernikahan teman atau saudara, aku selalu mendapat pertanyaan dan komentar yang sama.

“Kamu kapan?”

“Ke kondangan orang terus, kapan dikondangin?”

“Semoga habis ini kamu ya, teman-temannya udah semua lho…”

“Jangan lupa sambil cari jodoh kalau ke kondangan.”

Responku selalu sama,“Iya doakan ya…” atau menjawab dengan meyakinkan seperti,”Tiga bulan lagi sih…” walaupun belum tahu bakal nikah sama siapa. Dahulu jika ada yang menanyakan hal serupa aku akan mencak-mencak dan galau akut. Merasa menjadi orang paling tidak beruntung di dunia. Tapi sekarang aku sudah mulai legowo dan biasa saja.

Mungkin bagi sebagian orang yang tidak pernah melalui proses sepertiku akan memandang aneh dan tidak tahu bagaimana rasanya ada di posisi ini. Bahkan tanpa bertanya lebih jauh mereka akan menghakimi dengan pertanyaan yang menohok.

“Masak kamu ngga pengen sih kaya kita?”

“Serius kamu lagi ngga deket siapa-siapa? Umur segini loh…!”

“Makanya jangan pilih-pilih, mba.”

Kalimat terakhir itu pun sering datang dari beberapa orang yang baru kenal beberapa menit. Biasanya sih orang-orang lebih tua dariku yang kebetulan bertemu dalam sebuah acara. Aku masih bisa memahami dan menanggapinya dengan tersenyum saja.

“Jangan lama-lama mba, kasian nanti anaknya masih kecil kita udah tua.”

“Emang dulu pengen nikah umur berapa?”

Di bangku sekolah dulu aku selalu memiliki angan-angan ingin menikah di umur 25 tahun. Lulus kuliah umur 22 tahun, bekerja 3 tahun lalu menikah. Tapi ternyata setelah memasuki “Dunia Nyata” semua itu hanyalah rencana semata. Mencari kerja tidak semudah itu, apalagi mencari jodoh. Belum lagi harus melewati kegagalan, kekecewaan, dan patah hati.

“Mending kamu cari teman sekolah atau kuliah aja, kaya kita-kita nih.”

Well, aku pun ingin sekali. Jujur aku juga merasa iri jika melihat kisah indah teman-temanku. Namun cerita orang tidak bisa disamakan. Seperti si A yang bertemu jodoh secara tidak sengaja di kereta. Bukan berarti aku harus berharap hal yang sama dengan mewanti-wanti,”Mana ya jodohku” ketika aku sedang di dalam kereta atau bus. Walaupun tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi.

Kalau dibilang aku tidak mau usaha, apakah mau dikenalkan sama anak rekan ibuku, atau dengan keponakan tetangga ipar sepupunya tante temannya kakakku tidak termasuk hitungan?

Aku juga mulai mengikuti kelas pra nikah, seperti kelas Diorama (Dialog Rumah Tangga) yang pertemuan pertamanya saja sudah dimulai dengan pertanyaan yang membuat overthinking,“Untuk apa menikah?” hingga belajar dan memahami tentang seks dalam rumah tangga.

Elegi Pagi Hari

Setiap membuka mata wajahmu yang pertama muncul di kepala. Seperti sebuah potret di dinding rumah tua. Memaksa untuk terus dipandang lama. Bukan lagi pertanyaan “Mengapa?” melainkan “Bagaimana?”

Bagaimana cara agar aku bisa lupa? Bagaimana cara untuk mengakhiri perasaan lara? Bagaimana cara berhenti menerka dan berharap perasaan masih sama? Bagaimana cara keluar dari rasa trauma? Aku sungguh sedang tidak percaya diri.

Berulang kali aku mengucap kata benci. Berniat menyakiti diri sendiri. Melarikan diri kesana kemari. Tapi tak kunjung menemukan pelipur hati. Tak ada jalan lain selain berhenti.

Kuutarakan semua dihadapan Tuhan. Menyelipkan untaian harapan. Memohon untuk bisa merelakan dan memaafkan. Lalu kutemukan diriku mulai menerima kenyataan. Dan hidup harus terus berjalan.

Surat terbuka untukmu

Pada akhirnya menulis menjadi jalan terakhir. Menulis menyembuhkan.

Aku memerlukan waktu lama untuk memutuskan menulis ini. sengaja mengulur waktu setiap kali keinginan itu muncul. Tekad itu muncul begitu kuat, namun lagi-lagi rasa malas mengalahkanku. Dan sekarang aku sudah memutuskan untuk memaksamu duduk berhadapan, memintamu untuk meluapkan semua perasaan.

Kulihat kau sudah membaik, setiap kali kita bertatapan mata kau selalu tersenyum. Aku sangat mengenal senyum itu, senyum yang menguatkan. Tapi masih seringkali kau menipu diri sendiri,

“Kau baik-baik saja?” tanyaku

“Ya tentu saja, aku hanya harus bertahan sebentar lagi sebelum jam pulang kerja.” Jawabmu yakin.

“Aku tahu kau sedang tidak baik-baik saja.”

Dan kau hanya tersenyum. Aku tidak memaksamu lagi untuk sementara, maka kali ini harus kita selesaikan. Biar hilang semua beban, biar segera kamu kembali bebas.

                Aku masih ingat jelas betapa hancurnya kamu saat itu. Kau mencoba hidup seperti biasa, menutupi dengan candaan penuh tawa. Setiap kali ada kesempatan kau akan menyelinap keluar dan mencari tempat sendiri untuk menangis. Menekan keras dada dan membekap mulutmu sendiri, menahan isak tangis agar tak seorangpun mendengar. Kepalamu mengadah ke atas, menahan air mata agar tak merusak riasanmu.

                “Aku hanya harus bertahan hari ini.” bisikmu setiap hari, meyakinkan dirimu.

                Setiap hari kau lewati seperti itu, dirumah kau tidak bisa bebas menangis tersedu. Kau bahkan harus memikirkan waktu yang tepat untuk mengeluarkan air mata yang sudah memenuhi kepalamu. Kau menangis saat mandi, saat sendiri di kamar, dan paling sering ketika sendirian di atas sajadahmu. Tiada hari tanpa ada rasa mengganjal di tenggorokan, susah menelan tapi kamu harus tetap makan untuk bertahan.

                “Aku tahu ini sangat mengejutkan… kau hanya harus bertahan dan biarkan waktu menyembuhkan.” kataku berusaha menghiburmu setiap saat

                “Kau tahu apa yang paling menyebalkan?” kau balik bertanya kepadaku.”Kenyataan bahwa ini sesuai dengan apa yang kuduga selama ini, penyebab aku selalu gelisah dan tidak bisa tidur.” Kau melanjutkan kalimatmu dengan tersenyum getir.

                “Bodohnya kau masih saja menahannya pergi dan memohon untuk Kembali.”

                “Iya aku memang bodoh… aku bahkan tidak yakin apakah aku bisa membencinya.” Ucapmu pelan,

                “Kau tau apa yang membuatnya bertahan? Cinta? Sayang? Bukan itu… dia bertahan karena kasihan. Dia tahu kamu begitu menggilainya, dia tetap disana hanya karena kamu baik dan bisa dimanfaatkan. Kamu terlalu naif…”

                Kupikir kau akan marah setelah mendengar ucapanku tapi kau malah tersenyum dan menangis. Tapi harus kukatakan semuanya agar kau sadar,

                “Satu tahun lebih kamu tidak sadar telah dibodohi, dimanipulasi, kamu selalu mempercayai semua alasan dan selalu saja mengemis perhatian. Semua itu dilakukannya secara sadar, bukan khilaf. Ini semua sudah salah dari awal. Dia tidak pernah menghargaimu, memperlakukanmu sesuka hatinya. Dia melihatmu seperti sebuah kesempatan besar karena kau terlalu mudah, dan sekarang ketika keinginannya sudah terpenuhi kau dengan mudah dibuang dan ditinggalkan.”

                Kutatap wajahmu yang sembab dan wajah memerah, sambil menyeka tangis kau terbata dan menjawabku,

                “Tapi aku tidak menyesal… kau tahu mungkin saja pertemuan ini sudah ditakdirkan begini. Aku belajar banyak hal dari ini semua. Bahwa berharap pada manusia adalah patah hati yang disengaja, menggantungkan harapan selain pada sang pencipta adalah sia-sia.”

                “Aku tahu… dan ini bukan salahmu. Berhenti bertanya mengapa ini terjadi. Kau ingat? Dia bahkan memintamu untuk memaklumi sikapnya dengan pikiran yang jernih. Menyalahkanmu ketika kau merasa paling tersakiti. Hey! Bagaimana bisa orang yang menyakiti berkata seperti itu pada seseorang yang sudah dia hancurkan?? Aku tidak habis pikir kau masih rela menangis demi dia! ” aku tidak bisa menahan nada bicaraku, amarahku meletup-letup. “Dia belum pernah merasakan bagaimana sakitnya kehilangan orang tersayang dan tidak akan pernah kembali, dia hanya menganggap semua hal mudah dan bisa diselesaikan dengan kata maaf!”

                “Kupikir ini adalah jatuh cintaku yang terakhir. Aku tidak tahu bagaimana bisa dengan mudah jatuh hati. Aku sudah memberikan apapun yang kupunya, berusaha sebaik mungkin. Setiap kali aku menangis aku sadar betapa cintanya aku. Sekarang aku disadarkan bahwa tidak semua orang punya niat baik, orang yang paling kau cintai bisa jadi orang yang paling menyakitimu hanya dalam hitungan detik. Kata-kata berubah menjadi senjata, perasaan hanya dibuat mainan saja.”

                “Dan kamu bukan korban… sesungguhnya korban adalah dia sendiri. Korban dari keegoisan, korban rasa tidak percaya diri. Dia tidak tahu bahwa menyakiti perasaan orang bisa menjadi boomerang. Orang bisa mati karena sakit hati, bahkan merubah seorang pendiam menjadi penjahat paling kejam. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”

                “Aku hanya perlu mengikhlaskan semuanya, merelakannya pergi, memaafkan diri sendiri dan dirinya lalu melupakan. Sisanya biar Tuhan yang menyelesaikan.”

                Kita saling bertatapan lagi begitu dalam hingga bisa menembus kaca di depan wajahmu. Kau bertekad untuk melupakan dendam dan sakit hati, itu bukan tugasmu. Sesekali kau masih menangis, perih sekali. Kau menangis karena rindu akan kenangan yang dulu dan selalu mendoakan dia yang masih ada di hatimu. Kau hanya bisa mendekap dirimu sendiri ketika menangis, tangisan yang selalu berakhir menjadi doa panjang dihadapan Tuhan.

                “Kau luar biasa… bisa bertahan sejauh ini. kuat di atas kakimu sendiri, tidak bergantung pada siapapun. Kau telah diselamatkan, jadi jangan lagi berhenti dan menengok ke belakang. Tegakkan kepala dan melangkah maju. Yah mungkin kau hanya rugi waktu dan materi…” candaku waktu itu, dan aku senang melihatmu tertawa.

                Teruntuk kamu, diriku sendiri yang selama ini kulupakan. Terimakasih sudah bertahan. Jangan biarkan lagi ada yang menjatuhkanmu. Berhenti bertanya,”Tuhan mengapa ini terjadi?” tapi fokus pada tujuanmu. Yakinlah bahwa apa yang kita tanam adalah apa yang akan kita tuai nanti. Kita ini hanya seonggok daging bernyawa, tidak punya hak mengatur jalannya cerita.

Kediri, 16 Desember 2020

jam setengah sepuluh lebih 4 menit malam hari

To the Room 19 (sebuah ruang menyendiri)

Aku sudah mendapatkan pekerjaa bersamaan dengan 100 harinya bapak pergi.

————-

Satu kalimat yang aku tulis beberapa hari setelah masuk kerja tahun lalu, aku lupa tepatnya, seingatku Maret 2019. Sepertinya setelah aku menonton habis drama korea berjudul,”Because This is My First Life.” Di tengah konflik dalam drama tersebut si pemeran utama membaca buku berjudul To The Room 19 karya Doris Lessing. Buku tersebut menceritakan tentang seseorang yang menginginkan sebuah ruangan sendiri khusus untuknya. Dia selalu merasa bahagia dan tenang di dalam ruangan itu walaupun tidak melakukan apa-apa. Ruang tersebut menjadi tempatnya beristirahat dari lelahnya menjalani kehidupan.


Aku termasuk tipe penyuka drama yang di dalamnya terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil. Sedih, kecewa, dan rasa berharap si pemeran utama pasti pernah dirasakan setiap orang. Hal yang membuat seseorang menciptakan batasan-batasan. Satu kalimat yang diucapkan seseorang kadang membuat kita tersadarkan bahwa kita mungkin terlalu mengikuti arus dan tanpa sadar melanggar batasan orang lain.

Seperti kita merasa nyaman dan orang tersebut nyaman dengan kita tetapi ternyata dia sama sekali tidak nyaman. Ini bisa terjadi kepada siapa aja, ngga cuma pasangan. Bisa jadi ke teman terdekat sekalipun. Ada beberapa hal yang mungkin tidak perlu diceritakan dan akhirnya muncullah ruang tersendiri untuk menyimpan hal-hal tersebut.

Aku suka berecerita, apapun. Aku mungkin terdengar cerewet, tetapi hanya pada orang-orang tertentu aku akan bercerita tentang privasiku. Namun lama kelamaan aku mulai sadar bahwa tidak semua hal mereka tahu. Walaupun sejujurnya sulit untuk tidak bercerita, namun aku mencoba. Mencoba untuk tidak terlalu gegabah menceritakan semua masalahku. Tidak semua orang mau mendengarnya, bahkan mungkin mereka memiliki masalah yang lebih rumit. Jadi aku mulai membuat Ruanganku Sendiri. Walaupun itu benar-benar sulit.

Aku sering menangis dan merasa hampa akhir-akhir ini, aku merasa tidak menjadi diriku sendiri karena aku terlalu bergantung pada seseorang. Aku telah membebani dengan memberinya tuntutan untuk melakukan apa yang aku mau, yang aku harapkan selama ini. Ya aku kadang merasa tidak berguna sama sekali.

Di rumah, aku sudah tidak memiliki tempat untuk merenung kecuali tidur. Setiap sudut rumahku masih mengingatkanku kepada bapak, dan perdebatan di dalam rumah sering membuatku pening. Ditambah dunia sedang waspada. Antara takut dan stress menimpa tiba-tiba.

Aku bahkan tidak tahu inti dari tulisan ini. Hanya saja aku merasa lebih baik setelah menulis. Sejujurnya aku bingung harus bercerita kepada siapa. Jadi untuk sementara lewat tulisan cukup membuat lega. Ah.. aku jadi teringat mimpi-mimpiku. Menjadi penulis… tapi sungguh aku sudah jarang sekali merangkai kata. Mungkin karena aku tidak terlalu percaya diri, atau takut ditertawakan saja.

“Apa sih kenapa mendadak puitis gitu..” adalah respon yang seringkali muncul. And i’m fine, thanks wordpress, thanks my mood you guys make me feel better tonight 😄

Insomnia

Aku terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar mandi. Aku bisa tahan jongkok lama-lama sambil berimajinasi. Lalu secara tidak sadar otakku membuat harapan, menjadi tuntutan yang sering membuatku kesal sendiri. Sebenarnya apa yang aku inginkan?

Aku hanya ingin diperhatikan.

Ya, ibuku dan keluargaku baik. Tapi aku masih merasa kesepian. Sahabat semasa kuliah yang ku anggap dekat sudah tidak seperti dulu lagi. Kita sudah tidak bisa leluasa bertegur sapa dan berbagi cerita. Apa saja yang ada dihati dan pikiran bisa kuceritakan pada mereka.

Dasar manusia hanyalah ingin hidupnya bahagia saja. Maka dari itu aku suka melamun, membayangkan bagaimana jika, bagaimana kalau, seandainya saja, dan sejuta kalimat-kalimat lainnya. Menetapkan prasangka, apabila tidak kuterima aku akan merasa terhina.

Aku hanya tidak ingin diam, karena ketika tidak ada hal lain yang bisa kupikirkan aku akan menangisi lagi kepergian bapak satu tahun lalu. Harapan berubah jadi kesedihan. Halu jadi haru.

Lalu aku mulai menyalahkan orang lain. Menuduh mereka, merasa tersinggung dan menuntut semua orang untuk memperhatikanku. Aku merasa harus pergi menemui psikiater atau siapapun yang mau mendengarkan ketidakjelasanku

Seberapa jauh aku bisa bertahan?

Setelah beranjak dewasa, semua hal yang dulu nampaknya membingungkan dan tidak dapat diterima kini sudah kupahami dengan sangat baik. Di perjalanan kehidupan setiap manusia akan selalu ada fase menyakitkan. Sebuah keadaan yang dihindari semua orang. Dan aku sedang ada di posisi itu sekarang. Aku hanya bisa melakukan perulangan membosankan setiap hari. Sudut pandangku berubah. Setiap melihat orang-orang berlalu lalang di jalanan aku bertanya-tanya apakah orang itu sedang ada masalah atau.tidak. Apakah ibu-ibu yang mengendarai sepeda motor sendirian itu memiliki kehidupan yang bahagia? Atau mungkin ia kesepian? Apakah keluarga yang sedang duduk di rumah makan itu benar-benar bahagia?

Aku tidak bisa melihat diriku nanti di masa mendatang, membayangkanpun aku tak berani. Aku mulai mengurangi membuka sosial media. Karena rasa iri itu sangat menakutkan. Ketika merasa iri timbul kebencian yang merambat dengan sangat cepat. Tapi seringkali aku merasa mati rasa daripada iri. Aku sama sekali tidak tertarik dengan kehidupan orang-orang. Aku tidak tersentuh kisah-kisah paling inspiratif sekalipun. Aku sama sekali tidak merasa termotivasi, karena aku tahu pasti untuk smentara ini ruang gerakku sangat terbatas.

Di tengah kecamuk hati dan berbagai permasalahan, aku sering melamunkan hal-hal yang terus terjadi di sekitarku. Mengapa harus ada rasa benci? Kenapa ada orang jahat? Apakah balas dendam benar-benar bisa menyelesaikan masalah? Belum lagi rasa benci yang berapi-api membuat seseorang bisa membunuh yang lainnya. Setelah berbagai macam pertanyaan tak terjawab itu aku mulai menyimpulkan sesuatu untukku sendiri. Seharusnya aku tidak perlu dilahitkan di dunia ini hanya untuk tahu betapa kejamnya dunia.

Aku selalu berakhir dengan menatap langit malam untuk meminta jawaban. Tuhan aku sudah benar-benar pasrah, aku bahkan sempat tidak terima atas semua takdirMu. Terus bertanya sebenarnya apa tujuan manusia dicipatakan di dunia? Bagaimana bisa melawan hawa nafsu yang begitu mengikat? Aku lihat orang-orang hanya mengejar dunia saja, tak terkecuali aku. Berlomba hanya untuk pengakuan. Hidup tidak lagi sederhaa karena mereka terus bersaing tanpa tahu tujuan akhir.

srirama~

Hari Selasa #2

p90115-135812Dua puluh delapan hari yang lalu aku juga duduk di depan komputer yang disediakan perpustakaan kota, judulnya persis sama “Hari Selasa”. Niat untuk rutin menulis kembali tertunda karena setelah aku mengunggah tulisan “Hari Selasa” bapakku berpulang, tepatnya hari Rabu, 19 Desember 2018.

Ternyata seperti ini rasanya kehilangan seseorang yang dicintai. Tidak ada pertanda, tidak ada kalimat perpisahan, semua terjadi tiba-tiba. Hari itu setelah selesai menulis dan melakukan riset di PLN yang berada di dekat perpustakaan, aku segera pergi ke rumah temanku. Seperti biasa aku tidak ingin segera pulang jadi aku ingin bermalas-malasan saja di rumah Farah. Sejujurnya aku hanya ingin menumpang tidur karena jam tidurku yang tidak beraturan selama beberapa bulan ini. Aku hanya tidur selama dua tiga jam karena harus bergantian menjaga bapak dengan ibukku. Aku sudah terbiasa, hanya mengeluh sesekali tapi sering eh bagaimana ya. Aku harus terjaga semalaman sampai subuh dan membiarkan ibuku beristirahat. Bapakku tidak bisa ditinggal sendirian. Tubuhnya sudah lemas sekali, penyakit yang menyerang bapakku selama dua tahun ini perlahan membuat semua sistem saraf bapakku melemah dan akhirnya tidak berfungsi sama sekali.

Singkatnya setelah puas merebahkan diri di kasur empuk milik Farah aku berpamitan untuk pulang ke rumah. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, aku berkendara perlahan sambil melamunkan banyak hal. Sampai rumah adzan maghrib berkumandang, aku bimbang memutuskan akan mandi atau tidak dan akhirnya kupilih mencuci muka dan berganti baju saja lalu sholat maghrib. Bapak berbaring di kasur belakang, seperti biasa. Setelah sholat maghrib aku bermalas-malasan lagi sambil membuka tutup media sosial. Sesekali beranjak dari duduk karena bapakku memanggil untuk meminta tolong ini itu (Bapakku tidak bisa menggerakan kedua tangan dan kakinya, jadi untuk tidur miring ke kanan atau kiri harus dibantu)

Pukul tujuh malam ibukku memindahkan bapakku ke kursi roda (untuk hal ini hanya ibuku yang bisa, bapak hanya mempercayai ibuk, aku hanya membantu mengangkat tubuhnya sedikit dan memegang erat kursi roda) Bapakku suka menonton televisi, khususnya sinetron dan sepak bola. Setiap hari bapak selalu bertanya ada pertandingan apa hari ini? Sambil disuapi oleh ibuk, bapak terpaku menonton televisi dan merintih kesakitan di saat bersamaan. Bapak merasa seluruh badannya sakit semua. Aku tidak menunjukkan simpati sama sekali karena sudah terbiasa, hanya ketika kepala bapakku tertunduk aku sigap segera membantu. Leher bapakku juga ikut melemah jadi tidak bisa menggerakkan kepalanya.

Satu jam setelahnya ibuku sudah menyuruhku menutup pintu, aku menggerutu karena masih pukul delapan malam. Ya jam delapan malam di desaku sudah terasa sepi sekali, pintu rumah para tetangga sudah tertutup sejak tadi. Krik krik krik uh membosankan. Kuturuti kata ibuku untuk menutup pintu. Bapakku sudah mengeluh punggungnya sakit karena terlalu lama duduk, ibuku segera menata tempat tidur dan aku mendorong kursi roda bapakku masuk ke dalam kamar. Yah mari kita mulai jam jaga malam ini dengan menonton film pikirku saat itu. Kusuruh ibuku beristarahat dan mengisyaratkan kepada bapakku untuk memanggilku saja.

Ruang keluarga tempatku menonton televisi berada tepat di depan kamar bapakku. Jadi kuposisikan dudukku tepat di depan pintu kamar jadi aku bisa melihat bapakku dengan leluasa. Volume suara bapakku semakin melemah, jadi sebelum bapakku memanggil saat terdengar suara merintih aku harus segera menghampiri bapakku.

Aku memilih untuk menonton program acara Korea “Show Me The Money” yang ada di komputerku, dan sampai saat ini aku tidak tahu kenapa aku punya file program acara ini, sepertinya ada yang tidak sengaja memindah datanya di komputerku. Lampu ruang tengah kumatikan, aku menikmati hentakan musik hip hop sambil terus melirik ke arah kamar. Tidak ada perasaan apa-apa malam itu, aku hanya merasa wajah bapak pucat sekali. Saat kuperiksa suhu tubuh bapakku tinggi, badannya panas. Aku tidak curiga karena beberapa hari yang lalu bapakku juga sempat demam. Rencananya besok kami akan memanggil dokter untuk memasang infus karena bapak menolak untuk makan. Bapak kesusahan untuk menelan karena saraf di tenggorokannya juga ikut melemah.

Aku menengok ke arah kamar terus menerus malam itu, seperti merasa bapak memanggil-manggil namaku. Saat kuhampiri beliau terlelap tapi raut wajahnya tenang. Sesekali bapak memanggil untuk meminta menata posisi kepalanya agar lebih nyaman. Hal itu terus berulang sampai adzan subuh dari musholla sebelah rumahku terdengar. Ah waktunya tidur, sambil menahan kantuk kumatikan komputer dan beranjak untuk mengambil air wudhu.

Ibuku terbangun, lalu segera sholat subuh. Aku meminta ijin untuk tidur sebentar. Mendadak setelah terkena air wudhu kantukku menghilang. Biasanya jam-jam tersebut bapakku akan intens memanggil jadi dengan keadaan setengah tidur dan marah-marah aku menghampiri bapak. Tapi hari itu bapakku sangat tenang, karena merasa aneh beberapa kali aku memastikan. Bapakku masih tertidur dengan wajah masih pucat dan kuputuskan untuk tidur sebentar.

Mataku terasa berat dan kepalaku pusing ketika ibuku membangunkanku,”Nduk bangun… ke belakang sebentar temenin bapakmu ibuk mau keluar sebentar.” Aku hanya mengerang, lalu tertidur lagi. Beberapa menit kemudian ibuku kembali membangunkanku katanya ada nenekku di belakang. Aku segera terbangun dengan terpaksa, mataku masih setengah terpejam saat aku menghampiri nenekku dan bapakku di ruang makan. Saat itu bapakku sedang duduk membelakangiku, tepatnya menghadap televisi di ruang makan dan nenekku berdiri di sebelahnya.

Ibuku sedang menyuapi bapakku, tapi bapakku menolak. Ibuku terlihat cemas karena sejak kemarin bapaku hanya makan sedikit. Nenekku menyarankan untuk merebahkan bapakku saja. Bapakku hanya diam saja tapi batuk-batuk seperti tersedak. Aku mengikuti mereka ke arah kasur bapakku satunya yang terletak didepan kamar adikku.

Setelah memindah bapakku dari kursi ke atas tempat tidur ibukku berteriak. Ada air menggenang di kursi bapakku. Ibuku setengah berteriak menanyai bapakku yang diam saja,”Pak.. pak kok pipis ngga bilang-bilang to, pak.. bapak..”

Jantungku berdetak lebih cepat saat itu juga, tidak… ini bukan… tidak mungkin. Nenekku menyuruh mengambil celana baru untuk bapak. Aku segera beranjak dan mengambil celana bapak. Ibuku terus menanyai bapakku dan suaranya seperti hampir menangis. Setelah mengganti celana bapakku, ibukku terduduk lemas dan nenekku membelai kepala bapakku sambil membisikkan kalimat-kalimat. Aku berdiri terpaku memandang bapakku yang terpejam dan mulutnya seperti mengeluarkan suara orang mendengkur.

Tidak… tidak.. kumohon jangan… aku mencoba menenangkan diriku. Nenekku masih terus mengusap kepala bapakku sambil membaca doa-doa. Aku segera membangunkan adikku, dia berteriak marah tapi aku memaksanya dan berteriak lebih kencang lagi. “Dik bapak dik, ini beneran!”

Adikku kaget melihatku berteriak dan menahan tangis. Kami berdua berlari keluar, merangkul ibukku yang mulai menangis. Bapak masih terus mengeluarkan suara dan matanya terpejam.

“Dik, panggil orang kesini, cepat!”

Nenekku menyuruh adikku memanggil tetanggaku, seorang imam di mushola sebelah rumahku. Tidak lama kemudian adikku datang diikuti dua orang tetanggaku. Ibuku menangis, adiku menangis dan aku masih melihat bapakku dengan tidak percaya. Lalu bapakku terdiam tidak mengeluarkan suara apapun. Tetanggaku meraba tubuh bapak untuk memastikan dan kalimat yang keluar dari mulutnya saat itu membuatku berteriak histeris.

Kami bertiga berpelukan lalu menangis, dan orang-orang mulai berdatangan. Seketika aku marah ketika para tetanggaku datang, kenapa mereka ke rumahku? Bapakku baik-baik saja, bapakku hanya tertidur teriaku waktu itu. Aku bahkan menarik kain yang akan digunakan untuk menutup bapakku. Aku tidak terkendali waktu itu, semua kenanganku dengan bapak semua sikap kasarku ke bapak terus berputar dan itu membuatku marah dan menyesal.

Kemudian kusuruh adikku menelpon kakakku yang sedang bekerja dan saudara-saudara terjauhku. Aku masih terduduk dan terus menangis. Kulihat adikku menelpon sambil menangis. Kusentuh kaki bapakku, aku masih yakin bahwa bapak hanya tertidur. Aku bahkan tidak ingat siapa yang kubentak dan kutepis tangannya ketika mereka mencoba untuk mendekatiku. Aku mulai tersadar dan menerima bahwa bapakku benar-benar telah tiada, sambil menangis kucium kening bapakku. Aku tidak tahu siapa yang membimbingku untuk berdiri dan berganti baju karena orang-orang mulai berdatangan. Aku menolak melihat tubuh bapakku yang sudah ditutupi kain. Kepalaku pusing dan air mataku seperti tak pernah habis. Aku memeluk adikku lama sekali.

Setelah berpindah tempat kukabari teman-teman terdekatku, mereka terdengar kaget karena aku menelpon mereka dan hanya menangis. Rasanya aku hanya ingin menjauh dari orang-orang dan menangis sendirian. Tetapi lebih banyak lagi orang berdatangan dan kuabaikan karena aku masih terus menangis memeluk ibuku.

Ibuku terlihat masih terkejut, ibuk menangis dan tatapannya nanar. Bahkan sampai saat ini ibuku masih sering terbangun di tengah malam, menangis memanggil-manggil bapakku.

Aku tidak ikut mengantar jenazah bapakku, hanya adik dan kakakku. Aku tidak sanggup melihat, aku lemas dan yang kulakukan hanyalah menangis. Semuanya terjadi sangat cepat dan aku masih belum terbiasa dengan ketidakhadiran bapak. Semua kebiasaan yang kami lakukan selama satu tahun terakhir setelah aku wisuda rasanya masih berbekas. Setiap sudut rumahku mengingatkanku tentang bapak. Kusibukkan diriku ketika pikiran tentang bapak muncul. Perasaan bersalahku begitu menyiksa, segala penyesalan seperti kalau saja aku memperhatikan bapakku lebih baik, kalau saja aku bisa menahan emosiku.

Seminggu kemudian aku baru ke makam bapak, kulihat gundukan tanah itu lama sekali. Siapa yang menyangka bapakku sekarang sudah pindah tempat tidur, bapak pasti kedinginan. Dan ingatan tentang bapak yang memanggilku untuk menyelimutinya terbesit. Gambaran ingatan ketika aku membentak bapak, menyuapi bapak, mengganti baju bapak, menonton bola dengan bapak rasanya begitu menyakitan. Semua kenangan masa kecil hingga dewasa bersama bapak begitu berharga.

Pelan-pelan kami menerima ketidakhadiran bapakku di tengah keluarga, perlahan kami menerima kepergian bapak yang membut rumah terasa semakin sepi. Walau masih sakit kami sudah ikhlas, walaupun masih tidak percaya kami hanya harus terus berdoa demi bapak, untuk bapakku tercinta.

Hari Selasa

Aku menulis ini di perpustakaan kota Kediri. Sengaja aku datang kesini untuk bisa menggunakan komputer dan wifi gratis. Aku sangat mengantuk dan mungkin setelah menulis ini aku akan tidur di dalam bilik. Ah sayangnya moodku juga sedang tidak baik. Berangkat dari rumah dengan emosi penuh, menggerutu di jalan dan sekarang penjaga perpus yang berisik ingin ikut kumarahi. Apa mereka benar-benar paham apa itu tata tertib di perpustakaan?

Mereka selalu berisik setiap saat, tidak hanya di jam istirahat. Di jam istirahat lebih parah, mereka makan siang, iya MAKAN DI DALAM RUANGAN sambil ngobrol macam ibu-ibu di perumahan yang leyeh-leyeh habis masak.  “Harap tenang di perpustakaan” apanya, lha wong penjaganya saja ngobrol terus, aku yakin semua pengunjung tahu apa yang mereka bicarakan. Gimana ya? Kok aku gemas, aku sudah memberi kode dengan “ehem” andalanku tapi mereka tidak peduli. Dilihat dari usianya mereka sepertinya memang ibu-ibu semua, ibu mudalah, yasudahlah bodo amat. Aku mau meredam emosi dulu.

Bagaimana ini? Aku selalu menyesal setelah marah-marah. Aku lelah berteriak, aku bosan mengeluh. Aku tidak ingin dinasehati siapapun saat ini, menolak kalimat-kalimat penenang penuh motivasi, dan pertanyaan dari siapapun. Tuhan… apa sebenarnya tujuan manusia diciptakan? Kenapa di bumi ini begitu banyak masalah? Dan kenapa ditambah pula dengan hidupnya orang-orang jahat? Orang-orang jahat yang meminta tolong setan untuk mengontrol kehidupan orang lain, jodoh, rejeki, penyakit. Ah sudahlah kenapa aku malah membahas perdukunan? Ya tapi memang membuat geram sih. Kok bisa merasa diri lebih hebat dari tuhan… ah mbuhlah

Tuhan.. aku ingin punya pacar… bisikku lirih di setiap saat aku sangat lelah menghadapi semua masalah sendirian. Eh gajadi tuhan kan indonesia tanpa pacaran eh maksudnya pacaran itu tidak benar, ngga banyak manfaatnya… Tapi pengen senderan di bahu orang tuhan, bahu teman saya yang perempuan tidak berotot…

Tuhan… kapan bapak saya sembuh? Kenapa makin hari semakin habis saja tubuhnya? Tinggal kulit dan tulang, aku tidak tega tetapi marah terus setiap saat. Membentak bapak ibukku karena aku tidak bisa menangis di depan mereka tuhan… Kenapa aku banyak mengeluh tuhan? Kenapa aku dan keluargaku yang diberi cobaan? Aku baik, aku tidak pacaran, tapi mengapa… maafkan aku tuhanku.. di blog saja aku masih tetap mengeluh.

Memang apa hubungan pacaran dan cobaan?

Ya aku berpikir tidak pacaran berarti aku baik, menjauhi dosa..

Menjauhi dosa apanya, lha wong aku malah bebuat dosa terus.

Eh bentar aku lihat jam dulu.

Satu jam lagi aku akan keluar dan berjalan menuju kantor di sebelah gedung ini.

Ngga aku belum jadi orang kantoran aku masih pengangguran tapi menolak kegabutan. Aku akan melakukan riset. Keren sekali bukan? Sungguh hari-hari yang produktif… produktif nonton drama korea di Viu sih sebenarnya.

Gimana ya? Gimana Gimana Gimana teruuusss

Aku butuh uang, aku butuh pekerjaan, aku butuh kesibukan untuk mengusir keluhanku. Aku butuh bertemu orang-orang baru, berpura-pura lagi menjadi manusia ceria yang tidak pernah lelah berkegiatan adalah solusi terbaik. Sebenarnya aku lelah berharap karena di setiap puncak lelah aku selalu menyalahkan keadaan, mengeluh lagi pada tuhan, rasa-rasanya hidupku tidak pernah berjalan sesuai keinginan dan tidak pernah mendapatkan kemudahan. Sungguh pikiran yang ingin kubunuh.

Nggak dikasih kemudahan piye to, masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang saja sudah suatu kenikmatan. Bisa makan, minum, buang air kecil dan besar. Ah sungguh setan-setan itu tidak ada yang menganggur ya, pekerjaan mereka sejak dilahirkan berat sekali. Harus mendapat target seperti seorang sales ulung, menggoda dan menjerumuskan sebanyak-banyaknya orang ke lubang gelap. Bagus sekali, kapan kalian open recruitment besar-besaran?

BLACKHOLE

“Beruntunglah kalian yang bisa bebas melakukan apa yang kalian mau, berhasil mencapai target dan mimpi-mimpi, yang tidak dibatasi, diberi dukungan dan tidak sedang dihadapkan pada masalah berat.” ~srirahayurama


Bukan tanpa alasan aku menulis sebuah twit kemarin sore. Leherku tercekat menahan tangis, hatiku bimbang, kepalaku pening menahan emosi yang meletup-letup. Aku tidak bisa menunjukkan perasaaku disini. Aku harus terlihat semua baik-baik saja.

Rasa ego yang membungkam logika, membuatku terus menimbun prasangka dan amarah. Bahkan di rumah menemukan ruang sendiri sangat sulit. Aku hanya menemukan kenyamanan pada lima waktu dalam sehari. Ketika bisa menumpahkan segala isi hati. Kehangatan mengalir dari otakku, menyebar ke seluruh tubuh lalu pecah tangis. Isakpun tak boleh terlalu keras, jangan sampai orang rumah tahu.

Di usia yang menurutku masih muda tapi menurut sebagian tidak ini, aku berusaha sedewasa mungkin menghadapi segala masalah yang datang. Tapi memang benar, berpura-pura terlihat kuat itu mudah. Orang tidak perlu tahu, simpan saja dan adukan pada tuhanmu.

Kehilangan

IMG-20171211-WA0013Sebuah rasa kehilangan lebih menyakitkan dari patah hati sekalipun. Kejadian yang tiba-tiba dan lenyap begitu saja. Meskipun jarang bersua, kehilangan ini begitu memilukan. Karena tidak ada lagi tawa yang membersamai setiap kali kita berkumpul, tidak ada lagi ocehan tentang sikap konyol adik-adik yang lebih berani dalam menyatakan cinta daripada kita yang sudah dewasa, dan raut wajah yang selalu tersenyum itu sudah tidak akan ada lagi. Aku terus berpikir untuk menyediakan jawaban yang tepat untuk pertanyaan adik-adik nanti,”Mbak, mas Andri kemana?”

Bahkan untuk menulis ini aku harus terus menghela nafas panjang, menahan tangis. Dan hal inilah yang terus kupikirkan semenjak kepergian mas Andri, perihal kematian. Semua orang akan mati, entah kapan. Meninggalkan dunia, keluarga, teman dan hal-hal fana lainnya. Setiap pergi kemanapun pikiranku selalu menerawang, membuatku tidak fokus mengendalikan motorku dan berakhir dengan salah arah. Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar membosankan namun begitu penting, seperti apakah aku sudah benar-benar menjadi orang yang baik? Akankah dosa-dosaku diampuni? Apakah aku pernah menolong orang lain? Apakah aku akan terus membenci dan tidak segera memperbaiki diri?

Aku yang masih belum mempercayai kepergian mas Andri, membuatku mulai paham bahwa tidak ada hal yang kekal di dunia. Semuanya sementara dan waktu tidak semakin bertambah melainkan berkurang. Semua takdir sudah ditentukan, kita menjalani dan berusaha, meskipun menjadi orang yang baik adalah perubahan yang sangat sulit dilakukan. Tapi yakinlah tuhan tidak pernah tidur, Maha Mengetahui.