Kode Etik Losmen Asteria

Sebuah cerita pendek

Genre : Drama Misteri

Tema : Keluarga, Karir, Komunikasi

BAB 1. Pindah Tugas

Sekarang Harum tahu bahwa patah hati memang sangat berbahaya. Berhari-hari ia tidak fokus saat bekerja dan berakibat melakukan banyak kesalahan ketika meliput berita. Selama satu minggu ini saja, ia sudah dipanggil empat kali untuk menghadap langsung pemred (pemimpin redaksi). Ketika sedang liputan berita ekslusif (baca : titipan), Harum melakukan kesalahan penyebutan nama narasumber sebanyak sepuluh kali lalu viral di media sosial. Warganet menganggap itu lucu sekali, bagaimana tidak, setiap salah menyebutkan nama Harum tertawa seperti orang gila.

Brakk!! 

Johan, Pemred Arah Media memukul meja tepat saat Harum duduk di depannya. 

“Saya kecewa banget sama kamu Rum… “ Johan berkata dengan nada rendah, suaranya seperti ditahan-tahan agar tidak mengeluarkan makian. Melihat Harum yang hanya tertunduk membuat Johan tidak bisa lagi menahan amarahnya.

“Kamu ini ada masalah apa?? Lagi sakit?? Butuh liburan?? Minta naik gaji?? Hah!? Atau kamu sengaja biar saya dipanggil ke kantor pusatt??? Dendam ya kamu sama saya??” Johan berdiri dan mengibaskan kedua tangannya kuat-kuat dengan kedua mata membelalak. Baru kali ini Harum melihat pimpinannya mengamuk. Ia tidak berani membalas tatapan Johan, ia sudah pasrah dan menyerah.

“Saya minta maaf pak… saya tahu kesalahan saya sangat fatal. Jadi.. untuk menebus kesalahan, saya akan berhenti sebagai jurnalis di Arah Media.” Harum mengeluarkan amplop putih yang sudah lecek karena digenggam erat sedari tadi dan meletakkan dengan perlahan di atas meja.  

“OH… GINI CARANYA!! LEMPAR BATU SEMBUNYI TANGAN…!” Seloroh Johan, memandang remeh surat Harum lalu mengambilnya dengan kedua ujung jarinya seolah itu adalah barang menjijikkan.

“Kalau begitu apa yang harus saya lakukan pak? Apa saya harus KLARIFIKASI??” Harum merasa sedikit kesal, sebenarnya bisa saja ia membela diri. Pada hari naas itu, ia sedang mengambil cuti dan sedang staycation di hotel yang baru saja dibuka. Saat itu juga sedang ada peresmian taman kota di dekat hotel tempat Harum menginap. Kesalahannya adalah mengunggah foto estetik jendela kamarnya dengan bertuliskan kalimat sedih dan latar musik galau, tidak lupa menandai akun hotel tersebut. Walaupun sudah mengganti profil dengan gambar bertuliskan SEDANG CUTI – SLOW RESPOND, satu menit setelah ia mengunggah foto jendela, puluhan pesan dan telepon masuk, Harum langsung menyesal. Sebagai jurnalis yang terhitung baru, ia tidak bisa menolak, tidak bisa mengelak. 

….

Harum keluar ruangan dengan lesu. Surat pengunduran dirinya ditolak, ia tidak tahu bagaimana jalan kehidupannya setelah ini. Agak getir memang, ia bisa terkenal secara singkat bukan karena prestasi gemilang tapi karena sebuah kesalahan konyol, ia malu, frustasi karena ponselnya tidak berhenti berdering sejak kejadian itu. Lalu ia menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa mengelola emosi setelah patah hati. 

“Nih dari pak Johan… “ seseorang menghentikan langkahnya saat menuju ruang kerja. Senior jurnalis, Masnur (bukan Mas Nur) menyodorkan selembar surat kepada Harum.

Harum menerima dengan berat hati, ia tahu itu adalah Surat Peringatan. Gemetar tangannya saat membuka surat lalu membacanya dengan hati-hati. Degup jantungnya semakin cepat setiap membaca kata per kata sampai akhirnya berhenti di akhir surat. Harum mendapat penawaran atau lebih tepatnya perintah secara tidak langsung untuk pindah tugas ke kota lain. Harum menelan ludah, ia merasa tenggorokannya sangat kering dan pandangannya kabur. 

Harum menghabiskan sisa jam kerjanya dengan membuat konten klarifikasi untuk diunggah di berbagai platform media sosial. Ia dibebastugaskan dari liputan berita utama, terutama siaran langsung. Ia hanya diperbolehkan meliput berita ringan untuk laman berita online, berita-berita dengan judul memancing pembaca yang bertujuan untuk meningkatkan klik dan pengunjung laman. Harum merasa harga dirinya terluka, padahal baru bulan lalu ia mendapat predikat pegawai terbaik, tapi hanya karena patah hati, membuat karirnya terancam. Ia menyesal tidak mengindahkan nasehat teman-teman terdekatnya. Berkali-kali Harum melirik surat peringatan yang terbuka di sebelah laptopnya, ia seperti sudah memantapkan diri untuk menerima saja tawaran pindah tugas itu. Sepertinya itu adalah satu-satunya solusi, selain bisa menyelematkan karirnya, ia juga bisa melepaskan diri dari masa lalunya.

….

         Kota Binar bukanlah tempat asing bagi Harum. Ia lahir dan tinggal disana selama sepuluh tahun. Saat memberitahu tentang kepindahannya, ibu Harum hanya mengangguk kecil tanda setuju tapi masih nampak ragu. Selain patah hati, Harum juga bertengkar dengan ibunya yang berakhir perang dingin selama beberapa hari. 

“Rum… ibuk ini udah makin tua… kamu udah waktunya nikah. Udah ngga usah terlalu capek-capek kerjanya, cepet cari calon biar nanti hidupmu ditanggung nduk…” Seperti tidak memberi jeda, walaupun tahu anaknya baru saja putus cinta, ibu Harum terus mendesak agar cepat mencari pengganti. Harum mencoba menjelaskan sekali lagi, mencoba untuk tidak meninggikan nada bicaranya.

“Buk… Harum ini kerja keras tiap hari bukan berarti enggak mikirin soal nikah sama sekali. Tiap hari, tiap detik selalu kepikiran itu bu. Tapi mau bagaimana lagi kalau memang belum bertemu jodohnya? Yang kemarin saja ternyata cuma bikin sakit hati.”

“Ibu udah firasat dari awal kalau mantanmu itu engga serius orangnya, kalau gitu kamu harus mau ibu kenalin sama keponakan temen ibuk. Orang tuanya udah setuju, pokoknya kalau kamu mau bulan depan langsung lamaran Rum…” 

Harum hanya membalas dengan tangisan, ia merasa tidak ada yang mengerti perasaannya sama sekali. Bagaimana bisa ia menikahi seseorang yang nama dan wajahnya saja ia belum tahu? Harum semakin tenggelam dalam tangis saat ibunya mengatakan ia kekanak-kanakan dan terlalu kaku menjadi perempuan.

“Kamu ini Rum emang nggak kasian sama ibuk…” 

Sepertinya menerima tawaran untuk pindah tugas adalah sebuah pilihan yang tepat. Setidaknya ia bisa menjauh dari berbagai tekanan untuk sementara waktu. Harum mulai mengemasi barang-barangnya, memesan tiket travel, dan mulai deliver tugas-tugasnya ke anak magang. Hubungannya dengan Johan PemRed sedikit membaik. Saat Harum memutuskan setuju atas kepindahannya, ia menemui Johan dan meminta maaf sekali lagi. Ia menjelaskan secara detail keadaannya ketika melakukan kesalahan dan betapa tidak profesionalnya dia sebagai jurnalis dalam mengatur emosi. 

Hari berlalu begitu cepat. Harum berpamitan dengan ibunya yang memeluknya erat sambil tidak henti memberi nasehat untuk selalu hati-hati di kota Binar. Sejak ayahnya meninggal, ibu Harum jarang membahas kota Binar, bahkan untuk sekedar mengenang masa lalu. Harum segera masuk ke dalam mobil travel yang sudah ia pesan sebelumnya. Ia mengamati sosok ibunya yang semakin mengecil dari kaca spion mobil sampai tidak terlihat sama sekali ketika keluar dari gang. Harum akhirnya menyadari bahwa hanya dia satu-satunya penumpang di dalam mobil. Terdengar satu panggilan masuk dari ponsel bapak sopir,

“Halo… iya ini langsung berangkat… cuma satu orang aja.”

Saat itulah Harum bertatap mata dengan pak sopir yang meliriknya dari kaca spion di dalam mobil. Sopir itu mengangguk dan tersenyum lalu berkata,

”Udah lama banget saya engga nganter orang ke kota Binar mbak…”

BAB 2 Kota Binar dan Losmen Asteria

“Ke kota Binar buat kerja ya mba?” tanya pak sopir memecah keheningan. Harum hanya membalas dengan anggukan karena ia merasa sangat mengantuk.  

“Sekarang kita sudah sampai mana ya pak?” Harum ingin tahu setelah menyadari mobil yang ditumpangi melewati jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi pohon-pohon jati. Dedaunan yang rimbun seperti menahan sinar matahari yang terik sehingga jalanan terasa teduh.

“Kawasan hutan pohon jati mbak…” 

“Emang biasanya sepi gini ya pak?” 

Pak sopir tidak membalas, hanya mengangguk kecil, ia terlihat gugup lalu menyalakan radio dan fokus menatap jalan. Suasana yang teduh dan alunan musik dari radio membuat Harum tidur terlelap.

Harum terbangun saat mobil melewati jalan bergelombang dan penuh lubang. Ia mengecek jamnya yang sudah menunjukkan pukul satu siang. Beberapa menit kemudian mobil melewati gapura besar bertuliskan Selamat Datang di Kota Binar. Mobil menepi di depan sebuah rumah tingkat berwarna biru elektrik dan kombinasi kuning cerah yang mencolok. 

“Kantornya disini mbak?” tanya pak sopir sangsi sambil membantu menurunkan kopernya. Tulisan Kantor Arah Media yang menempel di bagian atas pintu berukuran kecil dan warnanya sudah pudar, pantas saja jika banyak yang tidak tahu. 

“Iya pak… terimakasih ya pak…” 

Harum merasa haus sekali, ia baru sadar belum minum sama sekali sejak tadi pagi. Ia  memandang sekelilingnya yang nampak sepi. Jalanan lengang, rumah-rumah tutup, hanya ada satu toko kelontong yang terlihat buka. Ia berniat akan membeli minum di toko kelontong itu sambil menunggu. Tapi belum sempat ia melangkahkan kaki, seorang pria keluar dari kantor Arah Media. 

“Harum ya…?” pria itu menghampiri Harum dengan wajah cerah dan senyum lebar,”Ini aku Duwi… masih ingat nggak?” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.

“Eh… Duwi…?” Harum menjabat tangan Duwi sambil berpikir keras. Ia familiar dengan wajah orang di depannya tapi lupa siapa namanya. 

“Aku teman sekelasmu waktu SD sebelum kamu pindah, kita satu kelas!” seru Duwi antusias. Perlahan Harum mulai ingat, pria di depannya adalah seorang anak laki-laki bertubuh kecil berkacamata yang dulu duduk di deretan bangku sebelahnya ketika sekolah. Wajar saja Harum tidak ingat, Duwi yang sekarang memiliki proporsi tubuh yang ideal, tidak lagi memakai kacamata dan gaya berpakaiannya khas anak muda kekinian. Lima belas tahun memang waktu yang cukup lama untuk merubah seseorang.

Duwi membantu membawakan koper Harum, mereka berjalan beriringan masuk ke dalam kantor Arah Media. Harum seketika takjub, dari luar memang nampak seperti rumah kontrakan biasa namun di dalam seperti disulap menjadi ruang kerja dengan desain minimalis yang nyaman. Duwi mengajaknya naik ke lantai dua untuk berkeliling, menunjukkan letak meja kerjanya dan memberikan informasi singkat tentang tugasnya. Harum baru tahu ternyata ia diminta pindah untuk mengganti karyawan lain yang sedang cuti melahirkan sementara waktu. 

“Aku seneng banget pas Masnur cerita tentang kepindahanmu Rum… oh iya kamu sudah dapat kos belum? Mau aku bantu nyari nggak? Sambil ngobrol dan jalan-jalan sore Rum… kamu pasti kaget deh sama kota Binar sekarang….” tanya Duwi panjang lebar.

“Wah terimakasih banyak Wi… aku belum sempat nyari info kos-kosan. Boleh banget nanti kita jalan-jalan sore ya!” Harum merasa terharu dan merasa sambutan teman masa kecilnya sangat berarti. Ia memang berangkat dengan terburu-buru, tanpa persiapan dan penuh keraguan. 

Sore itu dengan dibonceng naik motor, Harum diajak Duwi berkeliling kota. Mereka bernostalgia, Duwi dengan semangat menjelaskan dengan detail perubahan-perubahan di kota Binar. Beberapa tempat tidak berubah seperti sekolah, rumah sakit, Bank, tempat ibadah, tentu saja dengan bangunan yang lebih bagus. Harum lega melihat banyak mini market dan kafe. Ia merasa bersalah karena sempat berfikir kota Binar adalah kota yang tertinggal. 

“Kota Binar itu… walaupun jadi kota paling sepi di Jawa Tengah, menurutku sih malah bisa jadi salah satu kota tujuan buat ngabisin masa tua nanti Rum…” ucap Duwi sambil melepas helm. Mereka memutuskan untuk menepi di alun-alun kota untuk beristirahat sebentar sambil memesan dua gelas es campur. 

“Aku setuju… harga tanah juga kayanya masih murah ya…” jawab Harum sok tahu. 

“Kamu tahu penulis terkenal Pramoedya Ananta Toer? Dia lahir di kota ini loh Rum…!” 

“Ya ya ya aku tahu, baru saja aku mau ngomongin itu.” kata Harum cepat, hari sudah semakin sore dan ia takut belum mendapat tempat tinggal.

”Kita lanjut cari kos yuk…”

Selanjutnya Duwi menunjukkan beberapa kos yang ia tahu. Tapi setiap kali pemilik kos menunjukkan kamar, ada saja hal yang membuat Harum ragu. Mereka sudah mendatangi empat rumah kos, dua rumah kontrakan kecil dan rumah singgah yang lokasinya cukup jauh dari kantor. Mereka memutuskan untuk kembali dulu ke kantor. 

Saat berbelok dan jarak ke kantor tinggal lima menit lagi, Harum melihat sebuah bangunan besar tiga lantai bernuansa klasik dengan sentuhan warna krem terlihat elegan terkena cahaya matahari senja. Tumbuhan merambat dibiarkan menjuntai mengelilingi atap bangunan seperti sebuah tirai. Harum langsung jatuh cinta. Ia menepuk bahu Duwi yang sedang fokus mengendarai motor..

“DUWI..!! ITU… BANGUNAN APAA?” Teriak Harum, takut suaranya kalah dengan angin dan suara kendaraan lain. Duwi tidak membalas, Harum berteriak sekali lagi.

“WI… DUWI.. ITU BANGUNAN APAA??” Duwi menurunkan kecepatan motornya lalu menoleh ke belakang.

“Itu losmen Asteria Rum..” jawab Duwi pelan. 

“Kita kesana wi…”

“Mau ngapain Rum?” Duwi terdengar gusar

“Aku mau tinggal disana Wi. Aku suka sekali sama desain luarnya, deket juga dari kantor.”

Duwi sengaja tidak mendengarkan permintaan Harum dan tetap memacu motornya menuju kantor. Harum merasa ada yang aneh dari sikap Duwi. Ia berpikir mungkin Duwi tidak mendengar ucapannya tadi. 

“Jangan tinggal disana Rum… “ kata Duwi sesampainya di kantor. 

“Kenapa Wi? Angker ya? Tapi kelihatannya enggak deh…” 

“Di belakang kantor ada kamar yang lumayan besar Rum.. biasa dibuat istirahat sama anak-anak… sementara kamu bisa disitu dulu.” Duwi mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Makasih Wi… tapi aku tetap mau tinggal di losmen itu aja. Kamu pulang duluan aja Wi.”

“Yaudah kalau kamu maunya gitu, aku antar… barangmu banyak.”

“Aku bisa kesana sendiri Wi. Deket kok…” 

Setelah drama singkat akhirnya Harum mau diantar Duwi. Di depan losmen Asteria, Duwi berpamitan singkat, wajahnya menggambarkan kekhawatiran saat melambaikan tangan pada Harum. 

Tulisan Losmen Asteria yang bergerak-gerak di atas gerbang masuk memantulkan cahaya dari lampu jalanan. Dilihat dari dekat tampaknya bangunan itu dulunya adalah sebuah asrama namun direnovasi sedemikian rupa menjadi tempat menginap yang lebih modern. Di bagian luar sebelah kanan terdapat tempat parkir yang cukup luas dan terdapat swalayan kecil di bagian sebelah kiri. Harum berjalan menuju pintu masuk, tidak ada suara selain roda kopernya ketika melewati halaman losmen. 

Lagi-lagi Harum dibuat takjub saat memasuki losmen, rasanya seperti menemukan tempat persembunyian yang sempurna. Sebagian besar perabotan terbuat dari kayu jati sehingga menciptakan kesan ruangan vintage minimalis ditambah penerangan hangat yang membuat siapa saja merasa nyaman. Harum berhenti di depan meja resepsionis yang kosong, tidak ada orang yang berjaga. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tidak ada siapapun untuk ditanyai. Harum menyembunyikan bel yang ada di atas meja. Ting…Ting…Ting…

Seorang wanita paruh baya berbaju batik keluar dari pintu yang ada di belakang meja resepsionis. 

“Selamat malam, selamat datang di Losmen Asteria. Ada yang bisa kami bantu?”

“Saya mau menginap disini selama 3 bulan. Apakah masih ada kamar kosong?”

“Masih. Sebelumnya perkenalkan saya Ibu Ria. Mari saya antar berkeliling.”

Ibu Ria berjalan menyusuri lorong diikuti Harum yang kerepotan dengan koper dan tas ranselnya yang terasa semakin berat. Terdapat lukisan berderet di dinding sepanjang lorong. Mereka berbelok di ujung lorong dan disambut dengan ruangan terbuka yang membuat mulut Harum melongo. 

“Kami menyebutnya aula losmen.”

Tempat yang disebut aula itu berukuran seluas lapangan basket. Terdapat sepetak taman dengan air mancur di tengahnya. Dapur dan ruang makan yang luas di sisi sebelah kanan, tempat ibadah, ruang santai di sisi lainnya dan perpustakaan kecil di sudut aula. Harum tertegun bukan karena takjub tapi menghitung dalam kepala berapa uang yang ia punya saat ini. Tinggal disini pasti tidak murah, pikirnya. 

“Ada beberapa tipe kamar yang bisa disewa disini. Backpacker Room, Sharing Room, dan Private Room. Total ada 30 kamar.” Jelas Ibu Ria sambil berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. 

Harum ingin menanyakan harganya tapi ia menahan diri. Ia masih ingin melihat kamar-kamar yang disebutkan ibu Ria. Karena kesulitan ia meninggalkan kopernya di ujung tangga dan bergegas menyusul ibu Ria yang sudah menunggunya. Ibu Ria mengamati setiap langkah Harum, menatap lekat-lekat wajahnya.

“Nama kamu Harum ya?”

BAB. 3 Kamar Nomor Lima

Akhirnya Harum memilih kamar Sharing Room, walaupun sempat tergoda dengan harga Backpacker Room yang paling murah. Ia tidak bisa jika harus berbagi kamar dengan banyak orang. Backpacker Room didesain khusus untuk orang-orang yang hobi travelling, setiap kamar ada lima sampai tujuh kasur tingkat. Persis seperti kamar-kamar di sekolah asrama, bedanya desain kamar dan perabotannya lebih modern dan aesthetic. 

Sedangkan Sharing Room hanya memiliki dua kasur yang berjarak di setiap kamarnya. Untuk Private Room jangan ditanya bagaimana fasilitasnya, harganya saja hampir tiga kali gaji Harum yang jumlahnya sedikit diatas upah minimum. Ia tahu bahwa ia harus bekerja keras sepanjang tahun ini, karena harga kamar Sharing Room hampir separuh dari upahnya tiap bulan. 

Dibantu staff losmen, Harum berhasil membawa koper dan ranselnya ke dalam kamar. Ia mendapat kamar nomor 13, satu-satunya kamar tipe Sharing Room yang tersisa. Uniknya nomor kamar di losmen Asteria ini tidak urut. Mulai dari kamar sebelah tangga sampai ujung lorong. 12 – 15 – 19 – 13 – 5 – 14 – 1 – 19 – 20 – 5b – 18 – 9 – 1b

Selain uang, yang mengganggu pikiran Harum adalah ucapan Ibu Ria yang ditanggapi sambil lalu olehnya karena terlalu bersemangat ingin melihat kamar-kamar di losmen Asteria. Harum mengira ibu Ria pasti tahu namanya ketika tidak sengaja melihatnya di televisi saat ia sedang siaran langsung. Namun setelah dipikir kembali, ia hanyalah jurnalis kontributor lokal yang beritanya jarang tampil di saluran utama, apalagi ia bertugas di Jawa Timur. Kapan-kapan akan aku tanya langsung saja, batin Harum. Tanpa mencuci muka dan berganti baju, Harum langsung tertidur dalam hitungan detik karena kelelahan.  

         Setelah situasi canggung beberapa hari yang lalu, Duwi jadi agak pendiam. Harum mencoba bersikap biasa saja dengan menyapa ketika berpapasan atau sekedar basa basi yang hanya dibalas singkat oleh Duwi. Tapi itu bukan persoalan besar, karena ada hal penting yang harus Harum pikirkan. Tidak banyak hal yang bisa diberitakan selama satu minggu ia bekerja di kota Binar. Ini bukan berarti ia berharap ada kasus-kasus kriminal terjadi setiap hari. Ia sudah menjalin keakraban dengan warga sekitar, orang-orang penting di kecamatan, dan beberapa petugas kepolisian, tidak lupa membagikan kartu namanya sambil berpesan jika ada suatu kejadian untuk segera mengabarinya.

         Harum juga bergabung dengan komunitas jurnalis warga alias sekumpulan orang-orang yang gemar membagikan video apa saja di grup yang rutin ia cek setiap hari. Berita yang sering ia liput akhir-akhir ini adalah kenaikan harga pokok. Ia juga rajin mengumpulkan banyak video tentang kota Binar. Mulai dari kegiatan sehari-hari masyarakat, kesenian, kerajinan, tempat wisata, sejarah, biografi, dan banyak hal lainnya untuk bahan berita feature. Ini menjadi tabungan penting karena bisa membantunya ketika sudah mentok jika tidak banyak berita utama yang bisa diliput. 

Di tengah-tengah kesibukannya mencari berita, ia menyempatkan mampir ke bekas rumahnya dulu yang sekarang sudah menjadi perumahan dinas Polres Kota Binar. Tidak lupa menyapa guru-gurunya di sekolahnya yang dulu. Tentu saja tujuannya adalah mencari informasi untuk bisa jadikan bahan berita. Satu-satunya orang yang mengingatnya dengan jelas adalah penjaga sekolah yang dulu selalu membantunya membukakan gerbang karena sering terlambat. Pak Man namanya. 

“Nduk… bapak masih ingat dulu kamu selalu diantar Pak Wisnu… Gimana kabarnya ayah dan ibumu nduk?” 

Wajah pak Man seperti tidak menua, badannya masih tegap dan gerakannya lincah mengatur anak-anak yang keluar masuk sekolah. Setelah Harum mengatakan ayahnya sudah tiada, pak Man langsung termenung, lalu menepuk-nepuk pelan bahu Harum.

“Ayahmu orang baik nduk…”

Melihat Harum sering berkeliaran sendirian, diam-diam Duwi mengajukan permohonan ke pimred untuk membuat tim liputan. Karena jumlah jurnalis tidak banyak, usulan Duwi ditolak. Sudah hal wajar jika jurnalis meliput sendirian, apalagi media lokal yang masih belum terlalu terkenal. Teman setia hanyalah motor, kamera dan penyangganya sebagai ganti juru kamera. Untungnya tidak berlangsung lama karena akhirnya Harum memiliki teman saat liputan yaitu anak SMK yang magang di Arah Media.

Di losmen, Harum sangat suka menghabiskan waktu di aula. Anehnya ia jarang bertemu penghuni lainnya.  Ia sampai menghitung jumlah orang yang ditemuinya satu minggu ini, totalnya hanya sepuluh orang. Tapi ia ingat ucapan ibu Ria tempo hari yang lalu kepada seorang pengunjung yang Harum lihat saat pulang kerja.

 ”Mohon maaf kamarnya sudah penuh.”

Harum menepuk jidatnya, dasar bodoh kan ada yang namanya aplikasi pemesanan hotel, bisa saja sudah ada yang pesan jauh-jauh hari. Ia tidak tahu mengapa, tapi setiap sudut losmen itu sangat menarik. Harum sudah ‘menjelajah’ sampai ke lantai tiga dan atap losmen. Ia bisa berlama-lama di atap saat menjemur baju, berharap ia bisa bertemu dan berkenalan dengan penghuni losmen lainnya. Karena ia sering merasa kesepian. 

Keanehan lainnya adalah kamar nomor lima yang berada tepat di samping kamar Harum. Hampir setiap hari di jam sepuluh malam, ia mendengar pintu kamar nomor lima diketuk tiga kali, suara pintu terbuka, dua atau tiga orang mengobrol tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan setelah itu senyap. Harum berpikir dia sedang bermimpi, tapi di suatu malam ketika ia begadang menonton drama korea, ketukan tiga kali tidak hanya terdengar di jam 10 malam, tapi tiap jam sampai jam lima pagi. 

Hari ini Harum sengaja berlama-lama di aula sampai jam sepuluh malam, ia ingin tahu siapa orang-orang yang selalu mengetuk pintu kamar nomor lima. Tapi hingga pukul 12 malam, tidak ada siapapun yang lewat. Harum menggerutu sebal karena jam tidurnya berkurang karena rasa ingin tahunya yang menggebu-gebu. Tanpa ia sadari ketika ia berjalan menaiki tangga, ada sepasang mata mengawasi dari kejauhan. 

Keesokan paginya Harum bangun terlambat, ponselnya terus berdering dan ia berkali-kali tersandung kakinya sendiri saat bersiap untuk berangkat. Cepat-cepat ia mengunci pintu dan berlari menuju tangga lalu berhenti mendadak ketika melihat pesan di layar ponselnya.

“MBAK HARUM! ADA KASUS ORANG HILANG! SEGERA KE KANTOR POLISI!” 

Bab. 4 Kode Etik Losmen Asteria

Harum mengira kantor polisi pasti sudah penuh dengan warga yang ingin tahu. Tapi ternyata hanya ada segelintir jurnalis yang mondar-mandir mewawancarai petugas kepolisian. Harum menghampiri pak Mul, salah satu warga yang mengirimkan pesan tentang kasus orang hilang.

“Wah mbak Harum… kok baru datang… sini ikut saya mba…”

Mereka berjabat tangan singkat dan berjalan mendekat ke ruang interogasi. Pak Mul menunjuk seorang ibu yang sedang duduk di depan petugas polisi melalui celah kaca jendela. 

“Itu ibu yang kehilangan anaknya…” bisik pak Mul.

Harum menyipitkan mata untuk bisa melihat lebih jelas, karena tidak boleh masuk, ia memutuskan untuk menunggu. Beberapa menit kemudian ibu itu keluar disusul seorang petugas polisi yang langsung menginstruksikan para wartawan untuk mendekat. Petugas itu memberitahukan secara singkat informasi tentang kasus seorang anak yang hilang sejak dua hari yang lalu. Menurut laporan sang ibu, anaknya seorang perempuan berusia 25 tahun berinisial TR, pergi tanpa pamit di malam hari, ketika semua orang sudah tertidur. Pesan dan telepon tidak ada balasan, nomornya tidak aktif. Ibunya menyadari bahwa sang anak membawa beberapa pakaian ketika pergi. Polisi akan mulai melakukan pencarian dimulai dari tempat kerjanya di pabrik Migas dan mencari informasi dari orang-orang terdekat 

Setelah petugas selesai memberikan informasi, wartawan ganti bergeser mengerubungi si ibu yang terlihat tidak nyaman karena banyak kamera dan ponsel mengarah kepadanya. 

“Apa ibu punya firasat sebelumnya?” 

“Bagaimana perasaan ibu sekarang?”

Tiba-tiba seorang lelaki menyeruak kerumunan dan menarik tangan si ibu, sepertinya suaminya. Mereka segera berlari keluar, lompat ke atas motor dan tancap gas pergi meninggalkan wartawan yang berhamburan keluar memanggil-manggil nama sang ibu.

Harum yang bertubuh kecil tertinggal paling belakang ketika ikut berlari mengejar si ibu. Pokoknya aku harus mendapatkan berita ini. Setelah hampir putus asa minggu lalu, semangat jurnalistiknya kembali lagi. Ia tidak kehabisan cara, segera ia mendekati petugas kepolisian yang tadi menerima laporan kasus orang hilang. Harum melihat sekilas nama petugas itu, Bakti.

“Permisi pak Bakti… boleh saya minta waktunya sebentar untuk bertanya-tanya lagi terkait kasus orang hilang tadi?” Harum mencoba sehalus mungkin ketika berbicara. 

“Sudah saya sampaikan semua.” balas Bakti singkat tanpa memandang wajah Harum. Petugas polisi itu berusia tiga tahun lebih tua dari Harum. Wajahnya terlihat tegas dan dingin. Harum mencoba sekali lagi, dengan pendekatan yang sedikit terlihat genit tapi hasilnya nihil. 

Mengetahui kasus orang hilang ini, warga kota Binar menanggapinya dengan santai bahkan terkesan mengejek. Mereka berpikir mungkin si anak kawin lari, atau sedang bertengkar dengan orang tuanya karena tidak mau dijodohkan. Tapi itu hanya bertahan satu hari saja. Besoknya sampai satu bulan penuh, hampir setiap hari kepolisian menerima laporan orang hilang. Warga mulai ketakutan, anak-anak kecil dilarang keluar rumah, setiap bepergian mereka tidak pernah berani sendirian. Rumor beredar dengan cepat di media sosial, mulai dari penculikan sampai modus jual beli organ tubuh manusia. Beberapa orang malah mengaitkannya dengan hal mistis di kota Binar.

Kantor polisi berubah seperti swalayan yang selalu ramai oleh orang keluar masuk ruangan. Harum sampai sudah kenal dengan sebagian petugas polisi di kantor tersebut, kecuali Bakti yang sama sekali tidak menunjukkan tanda keramahan setiap kali melihatnya. Harum juga melakukan pendekatan kepada mereka yang melaporkan keluarga atau temannya yang hilang. Sebenarnya ia merasa ada yang janggal dari kasus ini. Kebanyakan dari pelapor selalu menunjukkan ekspresi marah yang disamarkan dengan raut muka sedih atau tangisan tanpa air mata yang dibuat-buat. Hanya ada beberapa orang yang ditemuinya terlihat tulus dan sedih ketika melaporkan keluarga atau temannya hilang. 

Harum berhasil melakukan wawancara tersendiri kepada pelapor yang bersedia dan mencatat nama-nama mereka. 

  1. Wildan, seorang anak berusia 15 tahun, melaporkan kakak kandungnya, Sita usia 20 tahun yang hilang setelah pamit pergi untuk membeli beras. 
  2. Zahra, melaporkan sahabatnya Fajar (sama-sama usia 25 tahun) yang hilang setelah bercerita ingin mengakhiri hidupnya.
  3. Ibu Suci (ibu yang pertama kali melaporkan kasus) anaknya Tika usia 25 tahun
  4. Pak Mul (warga yang memberitahu Harum informasi tentang kasus pertama) tersedu-sedu saat menceritakan tentang anak perempuannya Rosida yang masih berusia 18 tahun, tidak pulang ke rumah setelah pamit berangkat sekolah. 
  5. Riki, melaporkan adiknya Dika 23 tahun, hilang setelah kepergian ibunya. 

Berita kasus orang hilang ini sudah menjadi perhatian dimana-mana, media pusat sampai menempatkannya di berita utama setiap hari. Mobil-mobil dengan logo televisi nasional berseliweran di kota Binar, dari kantor polisi ke rumah-rumah keluarga korban. Bermunculan video-video amatir dari warga dan potongan berita-berita yang disunting sehingga tampak menegangkan di media sosial. Pemerintah kota Binar benar-benar memfokuskan untuk menyelesaikan masalah ini. Harum tidak luput dari kejaran pemred di kantor pusat yang menuntut berita paling eksklusif dari media lainnya. 

Berkah dari kejadian ini adalah berakhirnya kecanggungan antara Duwi dan Harum. Pekerjaan menuntut mereka untuk selalu bekerja sama, semata-mata bukan hanya untuk mengejar peringkat media yang paling banyak dicari untuk mencari informasi tentang kasus orang hilang, tapi juga berusaha semaksimal mungkin membantu pelapor untuk bisa bertemu lagi dengan keluarganya. Sayangnya Harum terlalu naif dan tidak memikirkan satu kemungkinan bahwa mungkin saja mereka yang hilang tidak ingin ditemukan. 

….

Harum duduk bersandar dan merenung di ruang kerjanya, dia merasa tubuhnya sakit dari ujung kepala hingga kaki. Bekerja hampir 24 jam setiap hari, kurang tidur dan makan hanya saat ingat. Matanya menyusuri papan informasi yang terhampar di dinding dan berhenti lama di tulisan KODE ETIK JURNALISTIK. Dia merasa pernah membaca tulisan serupa tapi lupa dimana, dibacanya kalimat itu berulang kali, tiba-tiba ia melompat berdiri, menyambar tasnya dan berlari menuruni tangga. 

Sejurus kemudian Harum sudah sampai di lobi losmen Asteria. Ia bergegas menuju kamarnya, menarik laci di bawah kasurnya dan menemukan sebuah buku menu yang di sampulnya bertuliskan APA SAJA YANG BISA KAMU DAPATKAN DI LOSMEN ASTERIA. Harum membuka setiap halaman dengan tidak sabaran. Jari telunjuknya menyusuri setiap kalimat dan akhirnya berhenti di halaman berjudul Layanan Satu Pintu. Temukan kedamaian dan lupakan masa lalu. 

Tidak ada hidup yang adil. Mungkin sekarang kamu merasa terjebak dan tidak menemukan jalan keluar. Terlalu menyedihkan dan menyakitkan jika mengakhiri hidupmu sekarang. Kamu berhak bahagia, temukan jalan keluarmu di Layanan Satu Pintu. Kami siap membantu. 

Ikuti Kode Etik Losmen Asteria di bawah ini jika kamu tertarik menggunakan layanan ini.

Pasal 1. Tamu wajib bersikap kooperatif dan mentaati peraturan selama menggunakan layanan

Pasal 2. Tamu wajib menjaga rahasia tentang semua informasi Layanan Satu Pintu

Pasal 3. Tamu wajib jujur, tidak berbohong tentang identitas diri

Pasal 4. Tamu tidak menyalahgunakan layanan untuk kepentingan yang merugikan losmen

Pasal 5. Tamu memiliki hak untuk dilindungi dan dibantu jika ada permasalahan di luar layanan

Pasal 6. Tamu bisa menghentikan layanan namun semua resiko ditanggung tamu

Catatan: pergi ke lantai dua, ketuk pintu nomor lima sebanyak tiga kali. Buka mulai pukul 10.00 malam setiap hari.

BAB 5 Penyusup di Losmen Asteria

Harum memutuskan melakukan investigasi mandiri sebelum melaporkannya ke kepolisian. Ia ragu kata-katanya akan dipercaya apalagi tanpa bukti yang kuat. Berbekal foto-foto orang hilang yang ia punya, Harum pura-pura lagi menghabiskan waktu di aula losmen. Ia membawa setumpuk buku dan laptop lalu duduk di ruang santai, memilih kursi yang menghadap langsung ke lorong jalan agar bisa melihat dengan jelas wajah-wajah para tamu yang lewat. Selama dua hari berturut-turut Harum berjaga di ruang santai aula, makan tidur di kursi itu, hanya beranjak sebentar untuk ke kamar mandi. Ia juga mengabaikan panggilan teman-teman kantornya. Padahal ia sudah mengajukan untuk kerja dari rumah (yang tentu saja ditolak) karena pekerjaannya sebagai jurnalis yang harus turun ke lapangan, apalagi sedang ada kasus besar yang belum terselesaikan. 

Buah dari kesabarannya ia dapatkan pada malam ketiga pengintaian. Jam hampir menunjukkan pukul 12 malam, Harum sudah tertidur pulas berbantal buku Pengantar Jurnalistik. Sebagai antisipasi ia sudah meletakkan kamera saku miliknya dan diletakkan di pot bunga yang ada di taman. Harum terbangun oleh suara berisik rombongan backpacker yang datang jam empat pagi. Ia mengerjapkan matanya, menarik nafas dalam-dalam lalu beranjak menuju pot bunga. Harum mempercepat video sampai akhirnya rekaman itu menunjukkan satu orang yang berjalan tepat jam 1 malam. Ia segera memperbesar video itu dan menyamakan dengan foto-foto orang hilang yang ada di ponselnya.

Itu Tika, orang pertama yang dilaporkan hilang oleh ibunya.

Harum tidak mempercayai matanya, berulang kali ia memastikan bahwa yang dia lihat benar. Suara azan subuh sayup-sayup terdengar, ia segera membereskan barang-barangnya dan naik ke lantai dua. Harum tidak langsung masuk ke kamar melainkan menatap lama pintu kamar nomor 5. 

Pagi-pagi sekali Harum sudah ada di kantor polisi, berdiri dengan cemas menunggu Bripka Bakti. Beberapa menit kemudian Harum sudah duduk di hadapan Bripka Bakti yang menatapnya tidak senang. Harum menjelaskan sedetail mungkin hasil temuannya dan kemungkinan ia tahu dimana orang-orang yang hilang itu berada.

“Hmm… seperti cerita di buku-buku. Kamu yakin tidak sedang mengarang cerita?” tanya Bripka Bakti sambil melihat foto yang diletakkan Harum di atas mejanya. 

“Saya belum sepenuhnya yakin… tapi foto ini adalah buktinya.” 

“Belum cukup kuat… bisa saja ini hasil editan.” 

Harum geram sekali, ia mengambil kembali foto itu dan segera pergi, meninggalkan bermacam pertanyaan di kepala Bripka Bakti. Sebenarnya ia sependapat dengan Harum, namun ia juga belum yakin. Hasil dari investigasi dan analisis digital forensik CCTV sepanjang jalan-jalan utama di Kota Binar menunjukkan hampir semua orang yang dilaporkan hilang terakhir terlihat berada di depan losmen Asteria. Mereka berdiri selama setengah jam kemudian berbalik pergi, tidak ada bukti orang-orang itu masuk melewati gerbang losmen Asteria.

Duwi terlihat sibuk mengetik artikel sampai tidak sadar Harum sudah duduk di sebelahnya. Melihat senyum Harum yang tidak seperti biasanya, Duwi tahu ia akan segera terlibat suatu masalah besar. Harum bercerita penuh semangat dengan berbisik setelah menyeret Duwi keluar ruangan dan mencari tempat sepi di luar kantor. 

“Gimana menurutmu wi?” tanya Harum antusias, Duwi adalah harapan satu-satunya, ia berharap Duwi percaya dan mendukung rencananya.

“Aku ragu Rum… polisi juga belum mengeluarkan update lagi tentang kasus ini. Kita menunggu saja, jangan ikut campur Rum…” Duwi mencoba mengingatkan, sama seperti pertama kali ia mencegah Harum tinggal di losmen Asteria

“Jadi kamu ngga mau bantu aku?” 

“Maaf ya Rum… kali ini aku ngga bisa. Aku masih mau kerja disini.”

Duwi meninggalkan Harum yang tertunduk lesu karena kecewa. Sepertinya ia memang harus mencari tahu sendiri. Harum berencana akan menjadi tamu yang membutuhkan Layanan Satu Pintu. Setelah ia tahu bagaimana sistem layanan itu, dia akan perlahan mendekati orang-orang yang hilang (jika benar mereka ada disana) lalu diam-diam menghubungi kantor polisi untuk mengepung losmen Asteria. Jika rencananya berhasil, besok pagi kasus ini bisa terselesaikan dan ia siap melakukan siaran langsung di lokasi kejadian.

Harum membutuhkan banyak peralatan untuk aksinya malam nanti. Ia meminjam (lebih tepatnya mengambil tanpa izin) perekam suara dan kamera tersembunyi di gudang peralatan kantor. Ia juga berpesan kepada anak magang yang ada di timnya jika hari itu ia akan pulang lebih cepat, tolong jangan hubungi aku dulu sampai nanti malam ya! tambahnya.

“Tumben sudah pulang mba Harum.” sapa ibu Ria yang sedang duduk di belakang meja resepsionis. 

Jantung Harum berdegup kencang, rasanya seperti tertangkap basah melakukan kejahatan. Harum hanya balas tersenyum, mengangguk singkat dan melanjutkan berjalan. Sampai di kamar ia merebahkan badannya. Ini semua demi kebaikan, bisiknya dalam hati. Sekarang ia berharap apa yang diduganya selama ini tidak terjadi. Mungkin ketukan tiga kali yang ia dengar setiap malam dari kamar nomor lima dan kemunculan Tika yang dikabarkan hilang hanyalah halusinasinya saja karena terlalu lelah bekerja. 

Berulang kali Harum menghafal urutan rencananya dan apa saja yang harus dilakukan ketika terjebak atau jika ia tidak selamat malam ini. Lima menit sebelum pukul sepuluh Harum berdiri mematung di belakang pintunya. Ponselnya berdering di saat yang tidak tepat, ibunya melakukan panggilan sebanyak lima kali namun tidak ia jawab. Harum hanya memberikan pesan singkat : “Bu, aku sedang lembur kerja, nanti aku telepon.”

Harum menarik nafas panjang lalu melangkah keluar kamar. Sedetik kemudian ia sudah sampai di depan kamar nomor 5. Tok..tok..tok. Tidak ada yang terjadi. Harum mengangkat tangan untuk mengetuk sekali lagi namun tiba-tiba pintu terbuka pelan dan terdengar suara dari dalam.

“Selamat datang di Layanan Satu Pintu.”

Seorang wanita bertubuh tinggi menyambutnya sambil menelungkupkan tangan di dada, setelah itu ia mempersilahkan Harum masuk. Ruangan itu memiliki desain dan luas yang persis dengan kamar Harum. Bedanya tidak ada kasur, melainkan meja resepsionis dan empat kursi berhadapan di tengah-tengah ruangan. Harum terkesiap dan berjalan mundur saat melihat deretan foto orang-orang yang dilaporkan hilang tertempel dengan rapi di dinding. 

“Ada yang bisa kami bantu? Sebelumnya perkenalkan saya admin Lia.” kata wanita itu sambil terus tersenyum

“Oh ap.. O.. yaa… sa.. sss… ehem… saya mau memakai Layanan Satu Pintu.” Jawab Harum tergagap. Ia harus bisa mengendalikan diri, setelah duduk ia diam-diam meraba saku jaketnya, memastikan perekam aman dan kamera tersembunyi di kalungnya berfungsi. Lia menjelaskan panjang lebar tentang Layanan Satu Pintu dan meminta Harum menandatangani surat kontrak yang langsung ia tandatangani tanpa membaca isinya. 

“Kalau boleh tahu, siapa mereka?” tanya Harum sambil menunjuk foto di belakang Lia. 

“Oh mereka pengguna layanan kami. Foto kak Harum juga akan tertempel disana. Tolong jangan bergerak dulu… satu… dua… tiga…!”

CKREK!

Cahaya kamera yang menyilaukan membuat Harum refleks menutup mata, terdengar suara mendesis lalu ia menghirup bau gas yang membuatnya tertidur. Entah berapa lama ia terlelap, tapi saat ini ia mendengar suara-suara.

“Ceritakan tentang dirimu sejujur-jujurnya tanpa dikurangi dan ditambahi.”

“Apa saja hal yang kamu takutkan?”

“Apa yang membuatmu marah saat ini?”

“Bisa kamu ceritakan apa atau siapa yang paling ingin kamu lupakan?” 

Harum sadar mulutnya menjawab semua pertanyaan itu tanpa bisa ia kendalikan. Rasanya seperti dihipnotis, anehnya ia merasa tubuhnya sangat ringan. Apakah aku sudah mati? 

Harum merasa ada yang menggoyang bahunya dan menepuk lembut pipinya. Ia mencoba membuka mata perlahan dan melihat wajah ibu Ria yang cemas menatapnya dari dekat. “Rum… Harum… bangun nak…” 

Sontak ia duduk, nafasnya memburu, ia melihat sekelilingnya dan menyadari ia sedang ada di ruang santai. Tapi aula ini berukuran tiga kali lebih besar. Harum mulai mengenali wajah orang-orang yang sedang beraktifitas di depannya. Mereka adalah orang-orang yang dilaporkan hilang. Harum menengok ke arah ibu Ira yang masih terus menatapnya. 

“Tidak perlu dijelaskan… ibu sudah tahu semua rencana kamu dan terpaksa ibu gagalkan.” 

Betapa terkejutnya Harum, melihat Duwi keluar dari dapur, membawa satu gelas air minum.”Minum dulu Rum… kami akan menjelaskan semuanya.”

“Layanan Satu Pintu adalah tempat untuk melarikan diri, menyembuhkan dan menemukan. Ketika berusia sepuluh tahun, saya menyaksikan sendiri bapak menghajar ibu hingga meninggal. Tidak ada yang menolong, tidak ada yang peduli. Jadi ibu buat bangunan warisan orang tua ini menjadi losmen dan pusat rehabilitasi mental.” Ibu Ria mulai bercerita dan menyebutkan nama-nama orang yang dilaporkan hilang.

“Tika, sejak lulus sekolah dipaksa bekerja untuk melunasi hutang keluarganya. Fajar sejak kecil selalu dipukuli oleh ayahnya dan diancam akan dibunuh. Sifa dilecehkan ayah kandungnya sendiri hingga harus menggugurkan kandungan diam-diam tanpa keluarganya tahu. Rosida anak pak Mul, adalah korban penindasan di sekolah. Sekar selalu dipukuli suaminya selama hamil sembilan bulan. Semua orang datang kesini karena suatu alasan Harum… mereka memang sengaja menghilang.” 

“Sebenarnya kamu adalah pelanggan pertama Layanan Satu Pintu Rum…” kata ibu Ira.

“Kamu bukan anak tunggal, kakakmu meninggal karena hanyut di sungai dan kamu menyaksikannya Rum… sejak saat itu kamu berubah karena perasaan bersalah yang menyiksa. Orang tuamu meminta bantuan ibu… setelah sembuh kalian memutuskan untuk pindah kota.” 

Ingatan demi ingatan kembali memenuhi kepala Harum. Ia menangis tersedu dan menyebut-nyebut nama kakaknya. Duwi segera memeluk Harum yang mulai berteriak sambil memukul-mukul tubuhnya. Malam itu, semua rahasia losmen Asteria terungkap tapi tetap tersimpan rapat.

BAB 6. Bintang Jatuh

Kasus orang hilang resmi ditutup diganti dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, perundungan dan kasus kejahatan lainnya. Semua berbalik arah, para pelapor orang hilang berubah menjadi tersangka atau saksi mata. Kota Binar yang dulunya tenang menjadi gempar, orang-orang mulai berani bersuara jika ada ketidakadilan di depan mata. Petugas kepolisian dan pegawai pemerintahan dari daerah hingga pusat bekerja keras untuk menangani semua permasalahan. 

Harum masih tidak percaya dengan kejadian satu minggu yang lalu. Bagaimana bisa ada ruangan lebih luas di dalam losmen Asteria? Apakah ada ruang bawah tanah? Duwi dengan sengaja tidak memberitahu lebih jelas untuk menggoda Harum. Ia hanya tahu bahwa pintu masuk menuju kamar nomor lima tidak hanya melalui gerbang depan, melainkan ada jalan lain yaitu melalui swalayan di sebelah losmen yang tidak tertangkap kamera CCTV. 

Selain itu Harum juga dibuat bimbang karena masa pindah tugasnya sudah berakhir. Pemred memberinya tiga pilihan, kembali ke kota asal, tetap di kota Binar atau pindah tugas ke kota lainnya. Sebenarnya Harum masih ingin tinggal lebih lama disini. 

“Maksudnya kamu mau tinggal lebih lama disini kan Rum?” Canda Duwi sambil menunjuk dadanya. 

Navigasi

Episode 1 MANUSIA SIAL

Bersamaan dengan pesanan kopi yang baru saja diantarkan, hujan mulai turun. Arun mengamati bulir air hujan di kaca jendela yang turun satu persatu. Pandangannya menembus ke masa lalu, baginya hujan adalah hari kematian. Ia tidak berani menghitung sudah berapa kali ia harus menerobos hujan dengan sepatu penuh lumpur untuk mengantarkan satu per satu keluarganya ke tempat istirahat terakhir. Bahkan ada waktu dimana ia hanya bisa melihat pemakaman dari satu pesan di ponselnya.

“Kasihan si Arun sekarang ia hidup sendirian..”

“Jangan dekat-dekat, katanya dia pembawa sial.” 

Arun menyeruput kopinya untuk membawa dirinya kembali. Ia baru menyadari bahwa tempat duduknya selalu sama, di sudut ruang sebelah jendela dimana ia bisa melihat dengan jelas orang yang keluar masuk kafe. Ia berhitung dalam hati dan menebak Mega sahabatnya akan segera datang dengan mantel hijau kesukaannya.

“Kenapa sih selalu hujan pas kamu ngajak ngopi… dan selalu di tempat ini.” Mega menyibakkan rambutnya yang basah lalu duduk di depan Arun.

“Sudah pesan?”

“Sudah.. Kaya biasanya.. Hari ini kenapa lagi?” 

Mega adalah orang yang tidak suka basa-basi. Ia tidak peduli apakah itu suasana yang tepat atau bukan yang penting ia harus tahu intinya lebih dulu. Mega mengamati Arun dengan wajah memaklumi. Ia selalu merasa Arun seperti sedang berada di atas perahu yang bisa kapan saja tenggelam.

“Menurutmu siapa lagi yang akan mati kali ini?”

Episode 2. Pembunuh Rahasia

Mega masih ingat hari-hari ia menemani Arun yang selalu menangis. Setiap tahun ia harus kehilangan anggota keluarganya sejak usia 15 tahun. Pertama ibunya meninggal karena penyakit turunan, satu tahun kemudian ayahnya yang tidak kuat menanggung kesedihan sepeninggal istrinya ikut meninggalkan Arun. Selanjutnya dia juga ditinggalkan adik kesayangannya yang mengidap penyakit sama dengan sang Ibu. 

“Tidak ada.”

Mega menjawab santai sambil tangannya sibuk memotong donat favoritnya yang baru sampai. Arun tersenyum, ia tahu Mega pasti kesal karena selalu mendapatkan pertanyaan yang sama setiap kali mereka bertemu.

Arun selalu menyukai sikap tak acuh Mega, sejak dulu dia satu-satunya orang yang tidak menatapnya dengan pandangan iba. Ia hanya selalu ada disisinya setiap hujan turun, menemaninya dalam diam. Hingga ia menemukan alasan kuat untuk tetap bertahan hidup. 

“Kalau ada lomba adu nasib sial aku pasti ikut.”

“Ya, kau pasti menang.”

Mega mengamini, ia bahkan merasa permasalahan hidupnya yang sering membuatnya mengeluh tidak ada apa-apanya dibanding Arun. Ia mungkin sudah tidak kuat dan pasti nekat ikut pergi juga meninggalkan dunia ini. 

“Sepertinya aku harus meninggalkan kota ini Meg. Usiaku hampir 23 tahun tapi aku hanya terjebak disini.”

“Ya… pergilah, jangan menua dan membusuk disini.” 

“Tapi aku takut Meg…”

“Takut apa? Tenang rumahmu aku jaga. Aku sudah capek melalang buana, sekarang giliranmu.”

“Aku takut membunuh orang lagi..”

Episode 3. Seribu Langkah

Mega bergidik ngeri saat memasuki halaman rumah Arun yang luas dan sepi. Hari masih sore tapi ia bisa merasakan hawa tidak nyaman. Ia lega saat melihat Arun membuka pintu dan melangkah keluar.

“Yakin nih ngga mau tinggal di rumahku aja pas bulan puasa nanti?”

“Makasih Meg tawarannya, tolong sampaikan juga ke ibumu. Tapi aku di rumah saja, ada Mak Yem dan Heru kok.”

Heru adalah sepupu dari kakak ibunya yang kebetulan sedang Magang di kota Arun tinggal. Jarak usia mereka hanya tiga bulan, walaupun terasa canggung setelah lama tidak bertemu, Arun sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Heru di rumahnya. 

Mereka berjalan beriringan dengan para warga yang berbondong-bondong menuju pemakaman. Sudah menjadi tradisi warga untuk ziarah kubur sebelum puasa. Tujuannya untuk mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini.

“Kalau jadi kamu aku pasti ngekos deh, di rumah segede itu sendirian… Ada mak Yem sih tapi kan sore udah pulang.”

“Aku udah nggak takut apa-apa Meg, hantu atau apalah itu tidak menakutkan sama sekali. Aku cuma takut kehilangan orang yang kusayangi.” 

Di depan makam orang tuanya Arun meminta izin bahwa ia akan melakukan perjalanan panjang. Ragu di hatinya segera menghilang. Ia bertekad akan menghitung setiap langkahnya mulai dari langkah pertama ia keluar dari pintu rumahnya. 

“Jadi berangkat kapan? Dan kemana? Sudah punya tujuan belum?” Mega langsung menyodorkan banyak pertanyaan di perjalanan pulang. Ia sangat tahu dari mata Arun yang berbinar bahwa temannya itu sudah yakin sekarang.

“Habis lebaran… sudah punya daftar tempat yang ingin aku datangi sih. Tapi kemanapun itu aku siap.”

Mega memandang wajah Arun lekat-lekat, ada perasaan tidak tega. Ia ingin sekali menemani perjalanan Arun, namun ia juga punya tujuannya sendiri. Tinggal beberapa meter lagi mereka sampai di rumah Arun. Langkah mereka terhenti saat melihat Heru berlari keluar rumah membawa tas ransel dan kotak uang disusul mak Yem yang berteriak marah.

“Ya Allah! Mau kemana kamu?! Itu uangnya mba Arun!”

Episode. 4 Baur

“Maafin Heru ya run, budhe bener-bener nggak tahu kalau dia lagi magang disana. Pas pulang kemarin dia nggak cerita apa-apa. Kok bisa-bisanya sampe nyuri uang… Ya Allah… ”

“Iya budhe…”

Budhe Erlin terisak di ujung telepon, merasa bersalah. Arun yang hidupnya sudah banyak kejutan dari kecil tidak banyak merespon. Sebaliknya mak Yem dan Mega yang mencak-mencak marah karena kelakuan tidak terduga si Heru.

“Kita laporin polisi aja gimana mba?” Mak Yem mengusulkan dengan penuh semangat.

“Iya setuju… nomor hp nya juga ngga aktif dari tadi run… awas aja nanti kalau ketemu. Larinya cepet banget tu anak!” balas Mega sambil memijat kakinya yang pegal karena sempat mengejar Heru.

Arun tidak menyetujui ide mereka, ia memutuskan untuk membiarkan si Heru sampai nanti dia berbicara sendiri padanya. Uang yang dicuri Heru adalah uang toko bahan kue milik orang tua Arun yang sekarang diwarisinya. Rencananya uang itu akan dibelanjakan kembali stok bahan-bahan kue yang sudah habis. Minggu ini pendapatannya lumayan banyak karena sudah memasuki bulan Ramadhan. 

“Nggak perlu… uang yang diambil nggak banyak kok. Dia salah ambil tuh hihi, pasti dia kecewa pas buka kotak itu.”

Mega dan mak Yem saling menatap tidak percaya dengan tanggapan Arun. Sepertinya kesepian memang sudah membuatnya sedikit tidak waras. Arun menutup drama sore itu dengan mengajak sholat tarawih ke mushola. Sepanjang sholat tarawih ia tidak fokus. Selain pikirannya dipenuhi tentang rencana perjalanannya, ia juga harus menjawab berbagai pertanyaan tetangga yang duduk di sebelahnya. 

“Gimana kabarnya mba Arun? Sehat mba… “

“Cepat banget udah puasa lagi ya mba… biar ngga kesepian cepetan cari pasangan mba Arun.. udah punya calon belum?”

“Eh tapi mba Arun belum lulus ya? Apa sudah? Soalnya kok ga keliatan pakai kebaya wisuda gitu.”

“Kalau bisa mba cari jodohnya yang dekat aja… udah ada rumah dan toko tinggal dirawat aja. Kasian nanti bapak ibuknya kalau ditinggal mbak Arun jauh, iya kan?

Arun berhasil dipojokkan, ia terpaksa hanya menjawab dengan iya dan menganggukkan kepala saja. Buru-buru ia pulang setelah sholat tarawih selesai, belum sempat ia melepas mukenanya, notifikasi hp-nya berbunyi. Satu pesan dari Heru.

“Mba Arun… mbaa aku minta maaf ya mba. Aku terpaksa banget mba, sumpah aku nggak berniat nyuri. Situasi di rumahku lagi berantakan banget mba, ibuku dikejar penagih pinjol. Ibu maksa aku buat kesini minta uang ke mba Arun. Tapi aku malu banget, jadi aku ambil aja kotak di kamar mba Arun. Aku bakal ganti mba… sumpah… maaf sekali lagi ya mba Arun.. dan terimakasih udah nampung aku seminggu ini.” 

Eps. 5 Navigasi

“Setiap orang setidaknya harus pernah melakukan perjalanan. Pergi jauh dari rumah, berkelana, merantau, atau menggelandang sekali pun. Untuk tahu sejauh mana kita mengenal diri sendiri.”

Kehidupan Arun selama bulan puasa seperti sebuah repetisi, mengulang kebiasaan yang sama setiap tahun. Sesekali mak Yem sengaja pulang agak malam agar bisa menemani Arun buka puasa. Beberapa hari sekali Mega menginap sampai sahur dan berhasil memaksanya ikut buka bersama keluarganya. Selain itu Arun benar-benar sendirian. Ia ingin menikmati waktu-waktu terakhirnya di rumah sebelum pergi.

Ia selalu membayangkan sedang berbuka dan sahur bersama keluarganya. Dalam bayangannya ayah dan ibunya sudah terlihat tua dan adiknya sudah duduk di bangku SMA. Puncaknya ia menangis terisak sampai ketiduran. Besoknya ia mulai mengemasi barang-barangnya yang akan dibawanya pergi.

Mega berhasil membantunya mendapatkan pegawai untuk mengelola tokonya. Arun dan pegawai itu melakukan perjanjian dengan disaksikan pengacara. Sedangkan rumahnya sudah ia tempeli tulisan besar-besar DIKONTRAKKAN. Mega berjanji akan selalu memberikan update terbaru untuk usaha orang tuanya dan rumahnya. 

Tapi beberapa hari sebelum kepergian Arun, Mega sengaja menghindar. Ia diam-diam menangis; suatu hal yang jarang terjadi, dan ia tidak ingin Arun melihatnya. Saat akhirnya dia berhasil mengontrol dirinya ia kembali menemui Arun dengan wajah ceria seolah tidak terjadi apa-apa.

Arun sengaja memilih hari kepergiannya di hari kedua lebaran. Pikirnya stasiun pasti sudah sepi, tapi malah sebaliknya. Masih banyak orang yang pulang dan pergi, seperti dirinya. Tangan kanan memegang erat koper besar, tangan kiri menggenggam satu kresek makanan dan ransel tinggi di pundak membuat beberapa orang meliriknya. Seolah-olah ia membawa satu rumah beserta isinya untuk perjalanan perdananya ini

Mega mengamati dari celah dinding di ruang tunggu untuk bisa memastikan sahabatnya menaiki gerbong yang benar. Terlintas di pikirannya untuk menerobos pintu masuk karena ia benar-benar cemas. Berulang kali Arun memberi tanda aman dan membuat gerakan tangan seolah mengusir Mega pergi dari stasiun. 

Suara peluit disusul sirine kereta menandakan perjalanan Arun akan segera dimulai. Saat kereta perlahan berhenti ia segera bergerak mengikuti porter yang membawa koper dan ranselnya. Setelah menemukan tempat duduknya, ia mengirim pesan kepada Mega.

“Aku pergi dulu Meg… mari bertemu beberapa tahun lagi. Terimakasih banyak dan jangan menangis 😄”

Arun menatap keluar jendela, rumah-rumah,  orang di sawah terlewati dengan cepat tanpa jeda. Perjalanan arun akan sama dengan kereta api. Berkelok, melewati terowongan gelap, berhenti sebentar lalu pergi lagi mengikuti navigasi.

***selesai***

RAHASIA EZRA

Sore ini aku mau bagi cerpenku yang sudah pernah dikirim di majelah aneka yess. Kalo ga salah waktu itu lagi ngadain lomba cerpen horor tapi ya alhasil ku gagal haha. selamat menikmati. Kalau kalian gak ketakutan habis baca ini yah mohon dimaklumi hehe.

RAHASIA EZRA

            Ezra sedang melempar-lempar bola basket ke dinding samping rumah. Suara bola itu keras sekali ketika mengenai dinding bercat merah. Ezra mengenakan kaus hijau dan celana pendek longgar.

            “Disini kau rupanya.” seru  Yuri yang tiba-tiba muncul.

            Ezra hanya menoleh dan tersenyum, lalu mulai melanjutkan melempar-lempar bola. Yuri melangkah ke samping Ezra. Hawa dingin yang aneh menjalar ke seluruh tubuhnya.

            “Kemana saja kau beberapa hari ini?” tanya Yuri,”Aku kesepian tahu, menghabiskan liburan sendiri.” lanjutnya.

            Ezra masih diam. Yuri merasa ada yang aneh dari sahabatnya itu. Hening yang lama sekali. Pelan-pelan Ezra menoleh, Yuri terperanjat kaget, ia mundur ke belakang, tersandung kakinya sendiri lalu terjatuh. Itu bukan Ezra pikir Yuri. Wajahnya pucat seputih pualam, matanya seputih susu, dengan seringai mengerikan penuh darah. Namun raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang amat dalam.

***

            Angin berhembus kencang, berputar-putar sebentar kemudian bergerak bebas. Yuri masih bergelung di balik selimutnya. Ia masih memikirkan tentang mimpinya semalam. Apakah akan terjadi sesuatu kepada Ezra? Siang itu Yuri memutuskan untuk pergi ke rumah Ezra yang berjarak beberapa blok dari rumahnya. Ia mengayuh sepeda kecilnya dengan tergesa-gesa. Lalu sampailah ia di rumah Ezra, besar dan megah. Rumah itu sepertinya telah ditinggal beratus-ratus tahun lamanya. Cat-cat dinding mengelupas, digantikan oleh lumut dan tumbuhan-tumbuhan menjalar. Kaca jendelanya pecah, genting-genting berjatuhan. Teras rumahnya berdebu setebal lima sentimeter, halaman rumahnya penuh dengan daun-daun kering dan sampah-sampah busuk. Kesannya seperti rumah angker.

            Yuri mencengkeram erat besi pagar rumah Ezra sampai tangannya kebas. Kenapa semua menjadi misterius seperti ini. Ezra ayolah keluar. Kau dimana?  Teriak Yuri dalam hati.

            Setengah jam lamanya Yuri memandangi rumah itu, berharap sahabatnya akan keluar melalui pintu megah yang sekarang dilapisi debu. Yuri segera memutar sepedanya dan meluncur pulang.

***

            ”Ayo, kelas sudah dimulai sepuluh menit yang lalu.” bisik Ella sambil menyeret Yuri, melewati kelas-kelas yang hening.

            “Tidakkah kau lihat, aku sedang berbicara dengan Ezra.”” bentak Yuri.

            Ella berhenti seketika, mebuat Yuri menabraknya, mata Ella terbelalak kaget.

            “Kau sudah gila ya!”” seru Ella

            “Ap…hei apa maksudmu?” bantah Yuri

            “Yuri… Ezra sudah enam bulan ini koma!””

            “Tidak mungkin!””

            Yuri tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tiba-tiba ingatan itu muncul kembali.

            Malam telah larut, namun Ezra dan Yuri masih cekikikan dalam perjalanan pulang mereka dari nonton bareng Euro cup di balai desa.

            “Hei, sudah hampir pukul satu.”” Yuri tersadar.

            “Ya memang.” sahut Ezra santai. “Lalu kenapa?””lanjutnya dengan senyum usil.

            “Ayo cepat pulang. Aku takut…””

            Jalanan masih sepi. Hanya satu dua rumah yang lampu depannya masih menyala. Angin tak wajar berhembus, mempermainkan rambut keriting Yuri, membuatnya bergidik ngeri. Tiba-tiba Ezra mendekap mulut Yuri dan mengajaknya bersembunyi dibalik pepohonan. Yuri berontak,

            “Emmphh ada apa sih..” desis Yuri. Tangan Ezra menunjuk ke arah segerombolan orang berpakaian serba hitam.

            “Kau lihat, mereka mencurigakan, seperti mau melakukan sesuatu.”” Ezra berbisik.

            Tidak ada siapa-siapa di sana, jalanan tetap sepi. Tiba-tiba gerombolan hitam itu sudah mengepung Yuri dan Ezra. Wajah mereka tidak terlihat, tertutup oleh cadar berwarna hitam. Semuanya menjadi cepat. Salah satu sosok berjubah itu menangkap Ezra yang balas menyerang, tapi mereka terlalu kuat. Yuri berontak dalam dekapan seseorang lagi yang bertubuh besar. Kedua orang itu menyeret Yuri dan Ezra masuk ke tengah hutan. Yuri yang setengah pingsan samar-samar mendengar nyanyian-nyanyian aneh, ia juga melihat dari sudut matanya api yang berkobar tinggi, ada bayangan hitam di sebelah api yang berkobar itu. Tubuhnya diikat pada sebuah tongkat besar dan tinggi. Yuri berusaha menajamkan pandangannya lalu bergidik ngeri. Orang yang diikat itu Ezra! Hanya itu yang dapat diingatnya, ia berusaha keras untuk mengingat tapi sulit.

            Yuri masih memikirkan kata-kata Ella tadi pagi. Katanya dia dan Ezra ditemukan tak sadarkan diri, tapi mengapa Ezra yang luka parah? Apa yang telah dilakukan orang-orang berjubah hitam itu?

            Sampai dirumah Yuri segera menemui ibunya, ia menuntut untuk diceritakan kejadian yang menimpanya dan Ezra. Ibunya terlihat kaget, karena tiba-tiba ia menanyakannya.

            “Apa maksudmu sayang?”” ucap ibu Yuri cemas.

            “Ibu tahu maksudku kan, kejadian yang menimpaku enam bulan yang lalu bu, kenapa aku bisa lupa bu, apakah itu sengaja? Yuri terus memberondongi ibunya dengan pertanyaan.”

            “Setelah kejadian itu, kau menjadi aneh. Setiap malam kau berteriak-teriak tak terkendali. Jalan satu-satunya adalah menghapus memori itu dari ingatanmu sayang, ayahmu terpaksa membawamu ke psikiater untuk dihipnotis.” jelas ibu panjang lebar.

            “Lalu dimana Ezra sekarang bu?””

            “Dia dirawat di Rumah Sakit Persada.”” jawab ibu sedih.

            “Bukankah itu di Malang? Kenapa jauh sekali bu..””

            “Semua dokter disini angkat tangan, lalu keluarganya memutuskan untuk pindah kesana.” ibu menatap Yuri lekat-lekat seakan tahu apa yang ada dalam pikiran anaknya,”jangan pergi kesana Yuri…”” lanjut ibunya. Yuri terkejut mendengar permintaan ibunya, kenapa ibu bisa tahu.

            “Tapi… aku harus kesana, aku ingin tahu keadaannya,” Yuri berusaha mengelak.

            “Kamu tidak mengerti sayang,””

            “Apa yang tidak kumengerti bu, tolong jelaskan bu.” Air mata Yuri mulai merebak. Kenyataan ini membuat dadanya sesak. Ezra sahabat yang paling disayanginya, ia telah menaruh hati padanya sejak pertama mereka bertemu. Ibu memeluk Yuri erat, mengusap rambutnya, menenangkannya dalam dekap hangat seorang ibu. Hatinya luluh, mungkin ini memang harus terjadi.

            “Baiklah, Ibu izinkan kamu menjenguk Ezra, tapi kamu tidak boleh sendirian…””

            Yuri mengangkat kepala dari pundak ibunya, matanya yang sembab kembali berkaca-kaca,”Terimakasih bu…””

***

            Ella tetap pada pendiriannya, ia tidak mau ikut Yuri menjenguk Ezra.

            “Ayolah Ell, temani aku… apa kau tidak kasian pada Ezra?”” Yuri terus saja merajuk, kalau tidak mengajak Ella dia pasti tidak boleh berangkat.

            “Tolonglah temanmu ini Ell, sekali saja, tega sekali sih kamu Ell. Ayolah aku mohon…””

            “Aku pikir-pikir dulu Han, aku masih ragu…””jawab Ella setelah sekian lama diam.

            “Apa yang membuatmu ragu?””

            Ella hanya menggeleng, ia segera meninggalkan Yuri sendiri di perpustakaan yang sekarang sudah mulai sepi. Tanpa disadarinya ada yang mengamatinya sejak tadi, orang itu berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Berpura-pura membaca sambil sesekali mengintip Yuri dari atas buku. Perlahan orang itu mendekati Yuri, lalu duduk disebelahnya.

            “Kau temannya Ezra, kan?”” bisik sebuah suara, Yuri tersentak kaget. Ia tidak tahu ada orang yang duduk disampingnya.

            “Eh, iya, kamu siapa?”” tanya Yuri takut-takut. Yuri seperti mengenalinya, dia adalah cowok yang ditaksir Ella.

            “Aku Radith, jawabnya cepat. Kudengar kau mau menjenguk Ezra ya?””

            “Kau mencuri dengar kami ya.” sontak Yuri marah atas ketidaksopanan Radith.

            “Aku ingin menunjukkan sesuatu sebelum kita menjenguknya.” ucapnya tidak menghiraukan kemarahan Yuri.

            “Kita? Kamu mau ikut? Sebenarnya kamu siapa sih?” Yuri bingung atas kehadiran mendadak cowok misterius ini.

            “Kita bertemu nanti pukul tujuh malam di dekat hutan,” Radith memberikan nomor handphonenya lalu beranjak pergi.

        Mendengar kata hutan Yuri bergidik ngeri, trauma masa lalu kembali mengahntuinya, tubuhnya menggigil, tapi ia menguatkan dirinya. Ini semua agar Ezra segera sadar dari koma panjangnya.

            Setelah diberi tahu Yuri kalau Radith ikut dalam misi penyelamatan Ezra, Ella mendadak berubah drastis. Ia begitu semangat, berulang kali ia menyuruh Yuri untuk mengulangi kronologi Radith bisa ikut bergabung bersama mereka, sampai-sampai Yuri jengah dibuatnya.

            “Seharusnya tadi aku nggak ninggalin kamu ya, nyesel deh…” Ella terus menerus mengeluh.

            “Sudahlah, habis ini kau juga akan ketemu kan, ayo berangkat sudah pukul tujuh.””

            Mereka jalan kaki menuju tempat yang dijanjikan. Hutan itu tidak luas, karena sebagian lahannya sudah dijadikan pemukiman oleh warga sekitar. Hutan itu memang sengaja dipertahankan, agar tetap asri. Namun keberadaanya kadang malah membuat takut warga.

            “Hey, sampai juga kalian. Ayo ikuti aku.” ucap Radith tepat saat mereka datang. Tangannya menenteng sebuah senter besar. Ella terkesima dengan sikap tenang Radith, sementara Yuri merasa tengkuknya merinding. Mereka berjalan mengikuti jalan setapak di dalam hutan. Radith berhenti, matanya tajam memandang sekitar, lalu mulai berjalan meninggalkan jalan setapak. Pepohonan tumbuh rapat menghalangi sinar rembulan, Radith menyalakan senternya.

            “Yuri… tolong aku….””

            Yuri mendadak berhenti mendengar suara lemah dari arah belakang. Ia berbalik dan hampir jatuh karena tidak mempercayai dengan apa  yang dilihatnya. Itu Ezra berdiri tak jauh darinya, tubuhnya berlumuran darah. Yuri ingin segera menolongnya tapi ada sebuah tangan yang menahannya.

            “Jangan….”” sergah Radith.

            “Tapi, Ezra harus segera ditolong.” Yuri menunjuk ke tempat dimana Ezra berdiri, namun tidak ada apa-apa disana. “Tadi dia disana, aku melihatnya sungguh.” Yuri berusaha menjelaskan kedua temannya.

            “Sudahlah Han, kita harus segera menemui ayahku.” Ella dan Yuri saling bertatap bingung. Setelah sepuluh menit menembus hutan sampailah mereka di depan sebuah rumah sederhana,

            “Ini rumahmu…?” tanya Ella ragu, Radith hanya mengangguk dan mengajak mereka masuk.

            Ayah Radith sudah menunggu mereka, ia duduk bersila diatas dipan panjang. Ia memakai baju atasan hitam serta sarung lusuh, wajahnya yang berwibawa membuat hati siapa saja merasa damai. Matanya menatap Yuri lama sekali, Yuri hanya tersenyum lalu duduk di depannya

            “Ayah, tolong jelaskan semua pada mereka.” kata Radith sopan.

            “Keluarga kami telah lama menyimpan rahasia ini. Pemuja Tansa itu sebutan mereka, sekelompok orang yang mempercayai akan hal-hal gaib. Mereka adalah penjaga hutan ini. Setiap bulan purnama mereka selalu mengadakan ritual dan menyajikan tumbal. Mereka yakin dengan tumbal tersebut hutan di negeri kita tetap utuh dan terjaga,” ayah Radith memulai ceritanya sambil menghisap cangklong yang mengelurkan asap tak  beraturan dari hidungnya.

            “Mereka jarang terlihat oleh warga sekitar. Hanya segelintir warga yang tahu, salah satunya temanmu, Ezra. Ia tidak sengaja melihat seorang Pemuja Tansa di suatu malam. Karena takut Ezra berteriak dan langsung lari, orang itu merasa tersinggung. Padahal mereka telah menjaga hutan itu untuk kita para warga. Lalu malam itu ketika akan mengadakan ritual, mereka memergoki kalian. Maka itulah jiwa Ezra dijadikan tumbal.””

            “Bagaimana dengan keluarganya? Mengapa rumahnya menjadi seperti itu.” celetuk Ella ingin tahu.

            “Mereka sangat terpukul melihat keadaan Ezra, rumah mereka mendadak menjadi seperti itu akibat dari pengaruh kekuatan gaib pemuja Tansa. Aku sudah berusaha meminta maaf, tapi… ah mengapa harus terjadi peristiwa mengerikan seperti ini.” ucapnya sedih, ”Tapi kamu menyelamatkannya nak,” lanjutnya sambil menunjuk Yuri.

            “Saya? Apa yang saya lakukan?”” tanya Yuri bingung, ia merasa tidak melakukan apapun.

            “Rasa sayang dan cintamu, saat ini Ezra koma, raganya disini, tapi jiwanya masih terjebak dalam dunia yang bahkan akupun tidak berani menyebut namanya. Ia menunggumu menjemputnya.” jelas panjang lebar Ayah Radith.

            “Apa yang harus saya lakukan?””

            “Kamu tahu caranya, bergegaslah menemuinya.””

            “Baik, terimakasih sekali atas penjelasan bapak.””

            “Iya, jangan pernah menengok ketika pulang nanti, jangan hiraukan apapun, terus saja berjalan. Radith, antar mereka.”” pesan Ayah Radith disimpan baik-baik oleh Ella dan Yuri.

            Cahaya rembulan menembus sela-sela pepohonan, memberikan sedikit penerangan untuk mereka. Selama perjalanan pulang mereka menuruti apa kata ayah Radith. Ella berjengit takut saat didengarnya suara-suara aneh dari arah belakang. Ia cepat-cepat merapat pada Radith. Yuri mengenggam erat lengan Ella, berusaha sekuat mungkin untuk tidak menoleh ke belakang. Ada yang mendesis memanggil namanya, ia tahu itu roh Ezra. Ia merasa sangat takut sekali, ia ingin menangis.

            “Tunggu aku Ezra… tunggu aku…””bisik Yuri dalam hati.

***

            Bus yang mereka tumpangi berdecit-decit saat berhenti di depan Rumah Sakit Persada. Mereka segera turun, Radith membantu Ella membawakan tasnya, pipi Ella langsung bersemu merah. Yuri segera mendatangi resepsionis, ia menanyakan tentang pasien bernama Ezra Pratama. Setelah diberi tahu nomor kamarnya, tanpa menunggu kedua temannya ia segera berlari menyusuri lorong rumah sakit.

            Ia seperti masuk dalam ruang hampa tak berpenghuni, karena semua dindingnya bercat putih, para suster dan pasien berpakaian serupa. Ada yang meletup-letup dalam dadanya. Ia ingin segera menemui Ezra, betapa rindunya ia pada sahabatnya itu.

            “Yuri, pelan-pelan dong.”” teriak Ella marah. Akhirnya mereka behrenti di depan ruang bernomor 1202. Tangan Yuri terulur menyentuh kenop pintu, diputar lalu didorongnya terbuka.

            Ia hampir tidak mengenali siapa yang terbaring diam diatas ranjang. Wajah Ezra sangat pucat, terlalu lama tidak tersentuh sinar matahari. Selang-selang panjang menempel di seluruh tubuh Ezra, tersalur pada sebuah alat disamping ranjang. Ada yang tidur di sofa di sisi lain ruangan. Yuri mendekatinya, itu ibunya Ezra, bu Ratih.

            “Assalamualaikum bu…”” bu Ratih membuka mata, ia langsung duduk tegak. Kaget akan kedatangan orang dikamar anaknya.

            “Waalaikumsalam… kamu siapa?””

            “Saya Yuri bu, teman Ezra.”” ucap Yuri pelan, ibu Ezra langsung menubruknya dan menangis.

            “Yuri… Akhirnya kamu datang nak…” Yuri tidak dapat menahan air matanya. Ibu Ezra melepaskan pelukannya, “Lihatlah dia, begitu kurus, selama ini tidak ada satupun teman yang menjenguknya, baru kamu nak…baru kamu..” lanjut ibunya sambil sesenggukan.

            Yuri duduk disamping ranjang Ezra, disentuhnya tangan Ezra. Air matanya kembali membendung, ia seakan merasakan sakit yang diderita Ezra. Ia ingin Ezra sadar, Ella mengusap pelan pundaknya.

            “Ezra… aku sudah disini… pulanglah za… banyak yang merindukanmu… Ezra…”” berulang kali Yuri memanggil nama sahabatnya suaranya hampir tak terdengar teredam isak tangis yang terus mengalir. Yuri membenamkan wajahnya ditangannya yang mengenggam erat tangan Ezra.

            Perlahan Ezra membuka mata, nafasnya kembali normal. Ia menoleh kesamping, Yuri mendongakkan kepalanya. Mereka bertatapan lama, rasa rindu, takut semua langsung hilang.  Yuri tersenyum manis sekali. Ibu Ezra langsung menghampiri dan memeluk Ezra erat.

            Radith masuk bersama seorang dokter. Dokter begitu takjub akan keajaiban ini. Setelah diperiksa dokter meninggalkan mereka.

            “Anakku, ibu sangat merindukanmu, berterimakasihlah pada Yuri sayang, dia yang telah membuatmu sadar dari koma.”

            “Yuri? Siapa bu?”” tanya Ezra polos. Hati Yuri hancur seketika,

            “Kau tidak mengenaliku? Kita bersahabat sejak lama, ingat?”” Yuri semakin rapuh melihat Ezra menggeleng.

            “Hei, Radith, Ella, lama tidak bertemu. Terimakasih sudah menjengukku.” serunya gembira. Yuri menangis, kenapa Ezra lupa kepadanya. Tapi ia rela walaupun ia harus mulai dari awal, yang terpenting Ezra sudah sadar dan sehat sekarang. Tiba-tiba ada sebuah suara menggema.

            “Jiwamu sebagai pengganti jiwanya, kau akan menjadi bagian dari kami.””

            Ia melihat di ujung ruangan seseorang memakai jubah hitam, memandangnya tajam lalu menghilang.

            ”Tidaaaaaaaaakkkkkkkkkkkk!!!””

~Selesai~