Kode Etik Losmen Asteria

Sebuah cerita pendek

Genre : Drama Misteri

Tema : Keluarga, Karir, Komunikasi

BAB 1. Pindah Tugas

Sekarang Harum tahu bahwa patah hati memang sangat berbahaya. Berhari-hari ia tidak fokus saat bekerja dan berakibat melakukan banyak kesalahan ketika meliput berita. Selama satu minggu ini saja, ia sudah dipanggil empat kali untuk menghadap langsung pemred (pemimpin redaksi). Ketika sedang liputan berita ekslusif (baca : titipan), Harum melakukan kesalahan penyebutan nama narasumber sebanyak sepuluh kali lalu viral di media sosial. Warganet menganggap itu lucu sekali, bagaimana tidak, setiap salah menyebutkan nama Harum tertawa seperti orang gila.

Brakk!! 

Johan, Pemred Arah Media memukul meja tepat saat Harum duduk di depannya. 

“Saya kecewa banget sama kamu Rum… “ Johan berkata dengan nada rendah, suaranya seperti ditahan-tahan agar tidak mengeluarkan makian. Melihat Harum yang hanya tertunduk membuat Johan tidak bisa lagi menahan amarahnya.

“Kamu ini ada masalah apa?? Lagi sakit?? Butuh liburan?? Minta naik gaji?? Hah!? Atau kamu sengaja biar saya dipanggil ke kantor pusatt??? Dendam ya kamu sama saya??” Johan berdiri dan mengibaskan kedua tangannya kuat-kuat dengan kedua mata membelalak. Baru kali ini Harum melihat pimpinannya mengamuk. Ia tidak berani membalas tatapan Johan, ia sudah pasrah dan menyerah.

“Saya minta maaf pak… saya tahu kesalahan saya sangat fatal. Jadi.. untuk menebus kesalahan, saya akan berhenti sebagai jurnalis di Arah Media.” Harum mengeluarkan amplop putih yang sudah lecek karena digenggam erat sedari tadi dan meletakkan dengan perlahan di atas meja.  

“OH… GINI CARANYA!! LEMPAR BATU SEMBUNYI TANGAN…!” Seloroh Johan, memandang remeh surat Harum lalu mengambilnya dengan kedua ujung jarinya seolah itu adalah barang menjijikkan.

“Kalau begitu apa yang harus saya lakukan pak? Apa saya harus KLARIFIKASI??” Harum merasa sedikit kesal, sebenarnya bisa saja ia membela diri. Pada hari naas itu, ia sedang mengambil cuti dan sedang staycation di hotel yang baru saja dibuka. Saat itu juga sedang ada peresmian taman kota di dekat hotel tempat Harum menginap. Kesalahannya adalah mengunggah foto estetik jendela kamarnya dengan bertuliskan kalimat sedih dan latar musik galau, tidak lupa menandai akun hotel tersebut. Walaupun sudah mengganti profil dengan gambar bertuliskan SEDANG CUTI – SLOW RESPOND, satu menit setelah ia mengunggah foto jendela, puluhan pesan dan telepon masuk, Harum langsung menyesal. Sebagai jurnalis yang terhitung baru, ia tidak bisa menolak, tidak bisa mengelak. 

….

Harum keluar ruangan dengan lesu. Surat pengunduran dirinya ditolak, ia tidak tahu bagaimana jalan kehidupannya setelah ini. Agak getir memang, ia bisa terkenal secara singkat bukan karena prestasi gemilang tapi karena sebuah kesalahan konyol, ia malu, frustasi karena ponselnya tidak berhenti berdering sejak kejadian itu. Lalu ia menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa mengelola emosi setelah patah hati. 

“Nih dari pak Johan… “ seseorang menghentikan langkahnya saat menuju ruang kerja. Senior jurnalis, Masnur (bukan Mas Nur) menyodorkan selembar surat kepada Harum.

Harum menerima dengan berat hati, ia tahu itu adalah Surat Peringatan. Gemetar tangannya saat membuka surat lalu membacanya dengan hati-hati. Degup jantungnya semakin cepat setiap membaca kata per kata sampai akhirnya berhenti di akhir surat. Harum mendapat penawaran atau lebih tepatnya perintah secara tidak langsung untuk pindah tugas ke kota lain. Harum menelan ludah, ia merasa tenggorokannya sangat kering dan pandangannya kabur. 

Harum menghabiskan sisa jam kerjanya dengan membuat konten klarifikasi untuk diunggah di berbagai platform media sosial. Ia dibebastugaskan dari liputan berita utama, terutama siaran langsung. Ia hanya diperbolehkan meliput berita ringan untuk laman berita online, berita-berita dengan judul memancing pembaca yang bertujuan untuk meningkatkan klik dan pengunjung laman. Harum merasa harga dirinya terluka, padahal baru bulan lalu ia mendapat predikat pegawai terbaik, tapi hanya karena patah hati, membuat karirnya terancam. Ia menyesal tidak mengindahkan nasehat teman-teman terdekatnya. Berkali-kali Harum melirik surat peringatan yang terbuka di sebelah laptopnya, ia seperti sudah memantapkan diri untuk menerima saja tawaran pindah tugas itu. Sepertinya itu adalah satu-satunya solusi, selain bisa menyelematkan karirnya, ia juga bisa melepaskan diri dari masa lalunya.

….

         Kota Binar bukanlah tempat asing bagi Harum. Ia lahir dan tinggal disana selama sepuluh tahun. Saat memberitahu tentang kepindahannya, ibu Harum hanya mengangguk kecil tanda setuju tapi masih nampak ragu. Selain patah hati, Harum juga bertengkar dengan ibunya yang berakhir perang dingin selama beberapa hari. 

“Rum… ibuk ini udah makin tua… kamu udah waktunya nikah. Udah ngga usah terlalu capek-capek kerjanya, cepet cari calon biar nanti hidupmu ditanggung nduk…” Seperti tidak memberi jeda, walaupun tahu anaknya baru saja putus cinta, ibu Harum terus mendesak agar cepat mencari pengganti. Harum mencoba menjelaskan sekali lagi, mencoba untuk tidak meninggikan nada bicaranya.

“Buk… Harum ini kerja keras tiap hari bukan berarti enggak mikirin soal nikah sama sekali. Tiap hari, tiap detik selalu kepikiran itu bu. Tapi mau bagaimana lagi kalau memang belum bertemu jodohnya? Yang kemarin saja ternyata cuma bikin sakit hati.”

“Ibu udah firasat dari awal kalau mantanmu itu engga serius orangnya, kalau gitu kamu harus mau ibu kenalin sama keponakan temen ibuk. Orang tuanya udah setuju, pokoknya kalau kamu mau bulan depan langsung lamaran Rum…” 

Harum hanya membalas dengan tangisan, ia merasa tidak ada yang mengerti perasaannya sama sekali. Bagaimana bisa ia menikahi seseorang yang nama dan wajahnya saja ia belum tahu? Harum semakin tenggelam dalam tangis saat ibunya mengatakan ia kekanak-kanakan dan terlalu kaku menjadi perempuan.

“Kamu ini Rum emang nggak kasian sama ibuk…” 

Sepertinya menerima tawaran untuk pindah tugas adalah sebuah pilihan yang tepat. Setidaknya ia bisa menjauh dari berbagai tekanan untuk sementara waktu. Harum mulai mengemasi barang-barangnya, memesan tiket travel, dan mulai deliver tugas-tugasnya ke anak magang. Hubungannya dengan Johan PemRed sedikit membaik. Saat Harum memutuskan setuju atas kepindahannya, ia menemui Johan dan meminta maaf sekali lagi. Ia menjelaskan secara detail keadaannya ketika melakukan kesalahan dan betapa tidak profesionalnya dia sebagai jurnalis dalam mengatur emosi. 

Hari berlalu begitu cepat. Harum berpamitan dengan ibunya yang memeluknya erat sambil tidak henti memberi nasehat untuk selalu hati-hati di kota Binar. Sejak ayahnya meninggal, ibu Harum jarang membahas kota Binar, bahkan untuk sekedar mengenang masa lalu. Harum segera masuk ke dalam mobil travel yang sudah ia pesan sebelumnya. Ia mengamati sosok ibunya yang semakin mengecil dari kaca spion mobil sampai tidak terlihat sama sekali ketika keluar dari gang. Harum akhirnya menyadari bahwa hanya dia satu-satunya penumpang di dalam mobil. Terdengar satu panggilan masuk dari ponsel bapak sopir,

“Halo… iya ini langsung berangkat… cuma satu orang aja.”

Saat itulah Harum bertatap mata dengan pak sopir yang meliriknya dari kaca spion di dalam mobil. Sopir itu mengangguk dan tersenyum lalu berkata,

”Udah lama banget saya engga nganter orang ke kota Binar mbak…”

BAB 2 Kota Binar dan Losmen Asteria

“Ke kota Binar buat kerja ya mba?” tanya pak sopir memecah keheningan. Harum hanya membalas dengan anggukan karena ia merasa sangat mengantuk.  

“Sekarang kita sudah sampai mana ya pak?” Harum ingin tahu setelah menyadari mobil yang ditumpangi melewati jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi pohon-pohon jati. Dedaunan yang rimbun seperti menahan sinar matahari yang terik sehingga jalanan terasa teduh.

“Kawasan hutan pohon jati mbak…” 

“Emang biasanya sepi gini ya pak?” 

Pak sopir tidak membalas, hanya mengangguk kecil, ia terlihat gugup lalu menyalakan radio dan fokus menatap jalan. Suasana yang teduh dan alunan musik dari radio membuat Harum tidur terlelap.

Harum terbangun saat mobil melewati jalan bergelombang dan penuh lubang. Ia mengecek jamnya yang sudah menunjukkan pukul satu siang. Beberapa menit kemudian mobil melewati gapura besar bertuliskan Selamat Datang di Kota Binar. Mobil menepi di depan sebuah rumah tingkat berwarna biru elektrik dan kombinasi kuning cerah yang mencolok. 

“Kantornya disini mbak?” tanya pak sopir sangsi sambil membantu menurunkan kopernya. Tulisan Kantor Arah Media yang menempel di bagian atas pintu berukuran kecil dan warnanya sudah pudar, pantas saja jika banyak yang tidak tahu. 

“Iya pak… terimakasih ya pak…” 

Harum merasa haus sekali, ia baru sadar belum minum sama sekali sejak tadi pagi. Ia  memandang sekelilingnya yang nampak sepi. Jalanan lengang, rumah-rumah tutup, hanya ada satu toko kelontong yang terlihat buka. Ia berniat akan membeli minum di toko kelontong itu sambil menunggu. Tapi belum sempat ia melangkahkan kaki, seorang pria keluar dari kantor Arah Media. 

“Harum ya…?” pria itu menghampiri Harum dengan wajah cerah dan senyum lebar,”Ini aku Duwi… masih ingat nggak?” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.

“Eh… Duwi…?” Harum menjabat tangan Duwi sambil berpikir keras. Ia familiar dengan wajah orang di depannya tapi lupa siapa namanya. 

“Aku teman sekelasmu waktu SD sebelum kamu pindah, kita satu kelas!” seru Duwi antusias. Perlahan Harum mulai ingat, pria di depannya adalah seorang anak laki-laki bertubuh kecil berkacamata yang dulu duduk di deretan bangku sebelahnya ketika sekolah. Wajar saja Harum tidak ingat, Duwi yang sekarang memiliki proporsi tubuh yang ideal, tidak lagi memakai kacamata dan gaya berpakaiannya khas anak muda kekinian. Lima belas tahun memang waktu yang cukup lama untuk merubah seseorang.

Duwi membantu membawakan koper Harum, mereka berjalan beriringan masuk ke dalam kantor Arah Media. Harum seketika takjub, dari luar memang nampak seperti rumah kontrakan biasa namun di dalam seperti disulap menjadi ruang kerja dengan desain minimalis yang nyaman. Duwi mengajaknya naik ke lantai dua untuk berkeliling, menunjukkan letak meja kerjanya dan memberikan informasi singkat tentang tugasnya. Harum baru tahu ternyata ia diminta pindah untuk mengganti karyawan lain yang sedang cuti melahirkan sementara waktu. 

“Aku seneng banget pas Masnur cerita tentang kepindahanmu Rum… oh iya kamu sudah dapat kos belum? Mau aku bantu nyari nggak? Sambil ngobrol dan jalan-jalan sore Rum… kamu pasti kaget deh sama kota Binar sekarang….” tanya Duwi panjang lebar.

“Wah terimakasih banyak Wi… aku belum sempat nyari info kos-kosan. Boleh banget nanti kita jalan-jalan sore ya!” Harum merasa terharu dan merasa sambutan teman masa kecilnya sangat berarti. Ia memang berangkat dengan terburu-buru, tanpa persiapan dan penuh keraguan. 

Sore itu dengan dibonceng naik motor, Harum diajak Duwi berkeliling kota. Mereka bernostalgia, Duwi dengan semangat menjelaskan dengan detail perubahan-perubahan di kota Binar. Beberapa tempat tidak berubah seperti sekolah, rumah sakit, Bank, tempat ibadah, tentu saja dengan bangunan yang lebih bagus. Harum lega melihat banyak mini market dan kafe. Ia merasa bersalah karena sempat berfikir kota Binar adalah kota yang tertinggal. 

“Kota Binar itu… walaupun jadi kota paling sepi di Jawa Tengah, menurutku sih malah bisa jadi salah satu kota tujuan buat ngabisin masa tua nanti Rum…” ucap Duwi sambil melepas helm. Mereka memutuskan untuk menepi di alun-alun kota untuk beristirahat sebentar sambil memesan dua gelas es campur. 

“Aku setuju… harga tanah juga kayanya masih murah ya…” jawab Harum sok tahu. 

“Kamu tahu penulis terkenal Pramoedya Ananta Toer? Dia lahir di kota ini loh Rum…!” 

“Ya ya ya aku tahu, baru saja aku mau ngomongin itu.” kata Harum cepat, hari sudah semakin sore dan ia takut belum mendapat tempat tinggal.

”Kita lanjut cari kos yuk…”

Selanjutnya Duwi menunjukkan beberapa kos yang ia tahu. Tapi setiap kali pemilik kos menunjukkan kamar, ada saja hal yang membuat Harum ragu. Mereka sudah mendatangi empat rumah kos, dua rumah kontrakan kecil dan rumah singgah yang lokasinya cukup jauh dari kantor. Mereka memutuskan untuk kembali dulu ke kantor. 

Saat berbelok dan jarak ke kantor tinggal lima menit lagi, Harum melihat sebuah bangunan besar tiga lantai bernuansa klasik dengan sentuhan warna krem terlihat elegan terkena cahaya matahari senja. Tumbuhan merambat dibiarkan menjuntai mengelilingi atap bangunan seperti sebuah tirai. Harum langsung jatuh cinta. Ia menepuk bahu Duwi yang sedang fokus mengendarai motor..

“DUWI..!! ITU… BANGUNAN APAA?” Teriak Harum, takut suaranya kalah dengan angin dan suara kendaraan lain. Duwi tidak membalas, Harum berteriak sekali lagi.

“WI… DUWI.. ITU BANGUNAN APAA??” Duwi menurunkan kecepatan motornya lalu menoleh ke belakang.

“Itu losmen Asteria Rum..” jawab Duwi pelan. 

“Kita kesana wi…”

“Mau ngapain Rum?” Duwi terdengar gusar

“Aku mau tinggal disana Wi. Aku suka sekali sama desain luarnya, deket juga dari kantor.”

Duwi sengaja tidak mendengarkan permintaan Harum dan tetap memacu motornya menuju kantor. Harum merasa ada yang aneh dari sikap Duwi. Ia berpikir mungkin Duwi tidak mendengar ucapannya tadi. 

“Jangan tinggal disana Rum… “ kata Duwi sesampainya di kantor. 

“Kenapa Wi? Angker ya? Tapi kelihatannya enggak deh…” 

“Di belakang kantor ada kamar yang lumayan besar Rum.. biasa dibuat istirahat sama anak-anak… sementara kamu bisa disitu dulu.” Duwi mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Makasih Wi… tapi aku tetap mau tinggal di losmen itu aja. Kamu pulang duluan aja Wi.”

“Yaudah kalau kamu maunya gitu, aku antar… barangmu banyak.”

“Aku bisa kesana sendiri Wi. Deket kok…” 

Setelah drama singkat akhirnya Harum mau diantar Duwi. Di depan losmen Asteria, Duwi berpamitan singkat, wajahnya menggambarkan kekhawatiran saat melambaikan tangan pada Harum. 

Tulisan Losmen Asteria yang bergerak-gerak di atas gerbang masuk memantulkan cahaya dari lampu jalanan. Dilihat dari dekat tampaknya bangunan itu dulunya adalah sebuah asrama namun direnovasi sedemikian rupa menjadi tempat menginap yang lebih modern. Di bagian luar sebelah kanan terdapat tempat parkir yang cukup luas dan terdapat swalayan kecil di bagian sebelah kiri. Harum berjalan menuju pintu masuk, tidak ada suara selain roda kopernya ketika melewati halaman losmen. 

Lagi-lagi Harum dibuat takjub saat memasuki losmen, rasanya seperti menemukan tempat persembunyian yang sempurna. Sebagian besar perabotan terbuat dari kayu jati sehingga menciptakan kesan ruangan vintage minimalis ditambah penerangan hangat yang membuat siapa saja merasa nyaman. Harum berhenti di depan meja resepsionis yang kosong, tidak ada orang yang berjaga. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tidak ada siapapun untuk ditanyai. Harum menyembunyikan bel yang ada di atas meja. Ting…Ting…Ting…

Seorang wanita paruh baya berbaju batik keluar dari pintu yang ada di belakang meja resepsionis. 

“Selamat malam, selamat datang di Losmen Asteria. Ada yang bisa kami bantu?”

“Saya mau menginap disini selama 3 bulan. Apakah masih ada kamar kosong?”

“Masih. Sebelumnya perkenalkan saya Ibu Ria. Mari saya antar berkeliling.”

Ibu Ria berjalan menyusuri lorong diikuti Harum yang kerepotan dengan koper dan tas ranselnya yang terasa semakin berat. Terdapat lukisan berderet di dinding sepanjang lorong. Mereka berbelok di ujung lorong dan disambut dengan ruangan terbuka yang membuat mulut Harum melongo. 

“Kami menyebutnya aula losmen.”

Tempat yang disebut aula itu berukuran seluas lapangan basket. Terdapat sepetak taman dengan air mancur di tengahnya. Dapur dan ruang makan yang luas di sisi sebelah kanan, tempat ibadah, ruang santai di sisi lainnya dan perpustakaan kecil di sudut aula. Harum tertegun bukan karena takjub tapi menghitung dalam kepala berapa uang yang ia punya saat ini. Tinggal disini pasti tidak murah, pikirnya. 

“Ada beberapa tipe kamar yang bisa disewa disini. Backpacker Room, Sharing Room, dan Private Room. Total ada 30 kamar.” Jelas Ibu Ria sambil berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. 

Harum ingin menanyakan harganya tapi ia menahan diri. Ia masih ingin melihat kamar-kamar yang disebutkan ibu Ria. Karena kesulitan ia meninggalkan kopernya di ujung tangga dan bergegas menyusul ibu Ria yang sudah menunggunya. Ibu Ria mengamati setiap langkah Harum, menatap lekat-lekat wajahnya.

“Nama kamu Harum ya?”

BAB. 3 Kamar Nomor Lima

Akhirnya Harum memilih kamar Sharing Room, walaupun sempat tergoda dengan harga Backpacker Room yang paling murah. Ia tidak bisa jika harus berbagi kamar dengan banyak orang. Backpacker Room didesain khusus untuk orang-orang yang hobi travelling, setiap kamar ada lima sampai tujuh kasur tingkat. Persis seperti kamar-kamar di sekolah asrama, bedanya desain kamar dan perabotannya lebih modern dan aesthetic. 

Sedangkan Sharing Room hanya memiliki dua kasur yang berjarak di setiap kamarnya. Untuk Private Room jangan ditanya bagaimana fasilitasnya, harganya saja hampir tiga kali gaji Harum yang jumlahnya sedikit diatas upah minimum. Ia tahu bahwa ia harus bekerja keras sepanjang tahun ini, karena harga kamar Sharing Room hampir separuh dari upahnya tiap bulan. 

Dibantu staff losmen, Harum berhasil membawa koper dan ranselnya ke dalam kamar. Ia mendapat kamar nomor 13, satu-satunya kamar tipe Sharing Room yang tersisa. Uniknya nomor kamar di losmen Asteria ini tidak urut. Mulai dari kamar sebelah tangga sampai ujung lorong. 12 – 15 – 19 – 13 – 5 – 14 – 1 – 19 – 20 – 5b – 18 – 9 – 1b

Selain uang, yang mengganggu pikiran Harum adalah ucapan Ibu Ria yang ditanggapi sambil lalu olehnya karena terlalu bersemangat ingin melihat kamar-kamar di losmen Asteria. Harum mengira ibu Ria pasti tahu namanya ketika tidak sengaja melihatnya di televisi saat ia sedang siaran langsung. Namun setelah dipikir kembali, ia hanyalah jurnalis kontributor lokal yang beritanya jarang tampil di saluran utama, apalagi ia bertugas di Jawa Timur. Kapan-kapan akan aku tanya langsung saja, batin Harum. Tanpa mencuci muka dan berganti baju, Harum langsung tertidur dalam hitungan detik karena kelelahan.  

         Setelah situasi canggung beberapa hari yang lalu, Duwi jadi agak pendiam. Harum mencoba bersikap biasa saja dengan menyapa ketika berpapasan atau sekedar basa basi yang hanya dibalas singkat oleh Duwi. Tapi itu bukan persoalan besar, karena ada hal penting yang harus Harum pikirkan. Tidak banyak hal yang bisa diberitakan selama satu minggu ia bekerja di kota Binar. Ini bukan berarti ia berharap ada kasus-kasus kriminal terjadi setiap hari. Ia sudah menjalin keakraban dengan warga sekitar, orang-orang penting di kecamatan, dan beberapa petugas kepolisian, tidak lupa membagikan kartu namanya sambil berpesan jika ada suatu kejadian untuk segera mengabarinya.

         Harum juga bergabung dengan komunitas jurnalis warga alias sekumpulan orang-orang yang gemar membagikan video apa saja di grup yang rutin ia cek setiap hari. Berita yang sering ia liput akhir-akhir ini adalah kenaikan harga pokok. Ia juga rajin mengumpulkan banyak video tentang kota Binar. Mulai dari kegiatan sehari-hari masyarakat, kesenian, kerajinan, tempat wisata, sejarah, biografi, dan banyak hal lainnya untuk bahan berita feature. Ini menjadi tabungan penting karena bisa membantunya ketika sudah mentok jika tidak banyak berita utama yang bisa diliput. 

Di tengah-tengah kesibukannya mencari berita, ia menyempatkan mampir ke bekas rumahnya dulu yang sekarang sudah menjadi perumahan dinas Polres Kota Binar. Tidak lupa menyapa guru-gurunya di sekolahnya yang dulu. Tentu saja tujuannya adalah mencari informasi untuk bisa jadikan bahan berita. Satu-satunya orang yang mengingatnya dengan jelas adalah penjaga sekolah yang dulu selalu membantunya membukakan gerbang karena sering terlambat. Pak Man namanya. 

“Nduk… bapak masih ingat dulu kamu selalu diantar Pak Wisnu… Gimana kabarnya ayah dan ibumu nduk?” 

Wajah pak Man seperti tidak menua, badannya masih tegap dan gerakannya lincah mengatur anak-anak yang keluar masuk sekolah. Setelah Harum mengatakan ayahnya sudah tiada, pak Man langsung termenung, lalu menepuk-nepuk pelan bahu Harum.

“Ayahmu orang baik nduk…”

Melihat Harum sering berkeliaran sendirian, diam-diam Duwi mengajukan permohonan ke pimred untuk membuat tim liputan. Karena jumlah jurnalis tidak banyak, usulan Duwi ditolak. Sudah hal wajar jika jurnalis meliput sendirian, apalagi media lokal yang masih belum terlalu terkenal. Teman setia hanyalah motor, kamera dan penyangganya sebagai ganti juru kamera. Untungnya tidak berlangsung lama karena akhirnya Harum memiliki teman saat liputan yaitu anak SMK yang magang di Arah Media.

Di losmen, Harum sangat suka menghabiskan waktu di aula. Anehnya ia jarang bertemu penghuni lainnya.  Ia sampai menghitung jumlah orang yang ditemuinya satu minggu ini, totalnya hanya sepuluh orang. Tapi ia ingat ucapan ibu Ria tempo hari yang lalu kepada seorang pengunjung yang Harum lihat saat pulang kerja.

 ”Mohon maaf kamarnya sudah penuh.”

Harum menepuk jidatnya, dasar bodoh kan ada yang namanya aplikasi pemesanan hotel, bisa saja sudah ada yang pesan jauh-jauh hari. Ia tidak tahu mengapa, tapi setiap sudut losmen itu sangat menarik. Harum sudah ‘menjelajah’ sampai ke lantai tiga dan atap losmen. Ia bisa berlama-lama di atap saat menjemur baju, berharap ia bisa bertemu dan berkenalan dengan penghuni losmen lainnya. Karena ia sering merasa kesepian. 

Keanehan lainnya adalah kamar nomor lima yang berada tepat di samping kamar Harum. Hampir setiap hari di jam sepuluh malam, ia mendengar pintu kamar nomor lima diketuk tiga kali, suara pintu terbuka, dua atau tiga orang mengobrol tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan setelah itu senyap. Harum berpikir dia sedang bermimpi, tapi di suatu malam ketika ia begadang menonton drama korea, ketukan tiga kali tidak hanya terdengar di jam 10 malam, tapi tiap jam sampai jam lima pagi. 

Hari ini Harum sengaja berlama-lama di aula sampai jam sepuluh malam, ia ingin tahu siapa orang-orang yang selalu mengetuk pintu kamar nomor lima. Tapi hingga pukul 12 malam, tidak ada siapapun yang lewat. Harum menggerutu sebal karena jam tidurnya berkurang karena rasa ingin tahunya yang menggebu-gebu. Tanpa ia sadari ketika ia berjalan menaiki tangga, ada sepasang mata mengawasi dari kejauhan. 

Keesokan paginya Harum bangun terlambat, ponselnya terus berdering dan ia berkali-kali tersandung kakinya sendiri saat bersiap untuk berangkat. Cepat-cepat ia mengunci pintu dan berlari menuju tangga lalu berhenti mendadak ketika melihat pesan di layar ponselnya.

“MBAK HARUM! ADA KASUS ORANG HILANG! SEGERA KE KANTOR POLISI!” 

Bab. 4 Kode Etik Losmen Asteria

Harum mengira kantor polisi pasti sudah penuh dengan warga yang ingin tahu. Tapi ternyata hanya ada segelintir jurnalis yang mondar-mandir mewawancarai petugas kepolisian. Harum menghampiri pak Mul, salah satu warga yang mengirimkan pesan tentang kasus orang hilang.

“Wah mbak Harum… kok baru datang… sini ikut saya mba…”

Mereka berjabat tangan singkat dan berjalan mendekat ke ruang interogasi. Pak Mul menunjuk seorang ibu yang sedang duduk di depan petugas polisi melalui celah kaca jendela. 

“Itu ibu yang kehilangan anaknya…” bisik pak Mul.

Harum menyipitkan mata untuk bisa melihat lebih jelas, karena tidak boleh masuk, ia memutuskan untuk menunggu. Beberapa menit kemudian ibu itu keluar disusul seorang petugas polisi yang langsung menginstruksikan para wartawan untuk mendekat. Petugas itu memberitahukan secara singkat informasi tentang kasus seorang anak yang hilang sejak dua hari yang lalu. Menurut laporan sang ibu, anaknya seorang perempuan berusia 25 tahun berinisial TR, pergi tanpa pamit di malam hari, ketika semua orang sudah tertidur. Pesan dan telepon tidak ada balasan, nomornya tidak aktif. Ibunya menyadari bahwa sang anak membawa beberapa pakaian ketika pergi. Polisi akan mulai melakukan pencarian dimulai dari tempat kerjanya di pabrik Migas dan mencari informasi dari orang-orang terdekat 

Setelah petugas selesai memberikan informasi, wartawan ganti bergeser mengerubungi si ibu yang terlihat tidak nyaman karena banyak kamera dan ponsel mengarah kepadanya. 

“Apa ibu punya firasat sebelumnya?” 

“Bagaimana perasaan ibu sekarang?”

Tiba-tiba seorang lelaki menyeruak kerumunan dan menarik tangan si ibu, sepertinya suaminya. Mereka segera berlari keluar, lompat ke atas motor dan tancap gas pergi meninggalkan wartawan yang berhamburan keluar memanggil-manggil nama sang ibu.

Harum yang bertubuh kecil tertinggal paling belakang ketika ikut berlari mengejar si ibu. Pokoknya aku harus mendapatkan berita ini. Setelah hampir putus asa minggu lalu, semangat jurnalistiknya kembali lagi. Ia tidak kehabisan cara, segera ia mendekati petugas kepolisian yang tadi menerima laporan kasus orang hilang. Harum melihat sekilas nama petugas itu, Bakti.

“Permisi pak Bakti… boleh saya minta waktunya sebentar untuk bertanya-tanya lagi terkait kasus orang hilang tadi?” Harum mencoba sehalus mungkin ketika berbicara. 

“Sudah saya sampaikan semua.” balas Bakti singkat tanpa memandang wajah Harum. Petugas polisi itu berusia tiga tahun lebih tua dari Harum. Wajahnya terlihat tegas dan dingin. Harum mencoba sekali lagi, dengan pendekatan yang sedikit terlihat genit tapi hasilnya nihil. 

Mengetahui kasus orang hilang ini, warga kota Binar menanggapinya dengan santai bahkan terkesan mengejek. Mereka berpikir mungkin si anak kawin lari, atau sedang bertengkar dengan orang tuanya karena tidak mau dijodohkan. Tapi itu hanya bertahan satu hari saja. Besoknya sampai satu bulan penuh, hampir setiap hari kepolisian menerima laporan orang hilang. Warga mulai ketakutan, anak-anak kecil dilarang keluar rumah, setiap bepergian mereka tidak pernah berani sendirian. Rumor beredar dengan cepat di media sosial, mulai dari penculikan sampai modus jual beli organ tubuh manusia. Beberapa orang malah mengaitkannya dengan hal mistis di kota Binar.

Kantor polisi berubah seperti swalayan yang selalu ramai oleh orang keluar masuk ruangan. Harum sampai sudah kenal dengan sebagian petugas polisi di kantor tersebut, kecuali Bakti yang sama sekali tidak menunjukkan tanda keramahan setiap kali melihatnya. Harum juga melakukan pendekatan kepada mereka yang melaporkan keluarga atau temannya yang hilang. Sebenarnya ia merasa ada yang janggal dari kasus ini. Kebanyakan dari pelapor selalu menunjukkan ekspresi marah yang disamarkan dengan raut muka sedih atau tangisan tanpa air mata yang dibuat-buat. Hanya ada beberapa orang yang ditemuinya terlihat tulus dan sedih ketika melaporkan keluarga atau temannya hilang. 

Harum berhasil melakukan wawancara tersendiri kepada pelapor yang bersedia dan mencatat nama-nama mereka. 

  1. Wildan, seorang anak berusia 15 tahun, melaporkan kakak kandungnya, Sita usia 20 tahun yang hilang setelah pamit pergi untuk membeli beras. 
  2. Zahra, melaporkan sahabatnya Fajar (sama-sama usia 25 tahun) yang hilang setelah bercerita ingin mengakhiri hidupnya.
  3. Ibu Suci (ibu yang pertama kali melaporkan kasus) anaknya Tika usia 25 tahun
  4. Pak Mul (warga yang memberitahu Harum informasi tentang kasus pertama) tersedu-sedu saat menceritakan tentang anak perempuannya Rosida yang masih berusia 18 tahun, tidak pulang ke rumah setelah pamit berangkat sekolah. 
  5. Riki, melaporkan adiknya Dika 23 tahun, hilang setelah kepergian ibunya. 

Berita kasus orang hilang ini sudah menjadi perhatian dimana-mana, media pusat sampai menempatkannya di berita utama setiap hari. Mobil-mobil dengan logo televisi nasional berseliweran di kota Binar, dari kantor polisi ke rumah-rumah keluarga korban. Bermunculan video-video amatir dari warga dan potongan berita-berita yang disunting sehingga tampak menegangkan di media sosial. Pemerintah kota Binar benar-benar memfokuskan untuk menyelesaikan masalah ini. Harum tidak luput dari kejaran pemred di kantor pusat yang menuntut berita paling eksklusif dari media lainnya. 

Berkah dari kejadian ini adalah berakhirnya kecanggungan antara Duwi dan Harum. Pekerjaan menuntut mereka untuk selalu bekerja sama, semata-mata bukan hanya untuk mengejar peringkat media yang paling banyak dicari untuk mencari informasi tentang kasus orang hilang, tapi juga berusaha semaksimal mungkin membantu pelapor untuk bisa bertemu lagi dengan keluarganya. Sayangnya Harum terlalu naif dan tidak memikirkan satu kemungkinan bahwa mungkin saja mereka yang hilang tidak ingin ditemukan. 

….

Harum duduk bersandar dan merenung di ruang kerjanya, dia merasa tubuhnya sakit dari ujung kepala hingga kaki. Bekerja hampir 24 jam setiap hari, kurang tidur dan makan hanya saat ingat. Matanya menyusuri papan informasi yang terhampar di dinding dan berhenti lama di tulisan KODE ETIK JURNALISTIK. Dia merasa pernah membaca tulisan serupa tapi lupa dimana, dibacanya kalimat itu berulang kali, tiba-tiba ia melompat berdiri, menyambar tasnya dan berlari menuruni tangga. 

Sejurus kemudian Harum sudah sampai di lobi losmen Asteria. Ia bergegas menuju kamarnya, menarik laci di bawah kasurnya dan menemukan sebuah buku menu yang di sampulnya bertuliskan APA SAJA YANG BISA KAMU DAPATKAN DI LOSMEN ASTERIA. Harum membuka setiap halaman dengan tidak sabaran. Jari telunjuknya menyusuri setiap kalimat dan akhirnya berhenti di halaman berjudul Layanan Satu Pintu. Temukan kedamaian dan lupakan masa lalu. 

Tidak ada hidup yang adil. Mungkin sekarang kamu merasa terjebak dan tidak menemukan jalan keluar. Terlalu menyedihkan dan menyakitkan jika mengakhiri hidupmu sekarang. Kamu berhak bahagia, temukan jalan keluarmu di Layanan Satu Pintu. Kami siap membantu. 

Ikuti Kode Etik Losmen Asteria di bawah ini jika kamu tertarik menggunakan layanan ini.

Pasal 1. Tamu wajib bersikap kooperatif dan mentaati peraturan selama menggunakan layanan

Pasal 2. Tamu wajib menjaga rahasia tentang semua informasi Layanan Satu Pintu

Pasal 3. Tamu wajib jujur, tidak berbohong tentang identitas diri

Pasal 4. Tamu tidak menyalahgunakan layanan untuk kepentingan yang merugikan losmen

Pasal 5. Tamu memiliki hak untuk dilindungi dan dibantu jika ada permasalahan di luar layanan

Pasal 6. Tamu bisa menghentikan layanan namun semua resiko ditanggung tamu

Catatan: pergi ke lantai dua, ketuk pintu nomor lima sebanyak tiga kali. Buka mulai pukul 10.00 malam setiap hari.

BAB 5 Penyusup di Losmen Asteria

Harum memutuskan melakukan investigasi mandiri sebelum melaporkannya ke kepolisian. Ia ragu kata-katanya akan dipercaya apalagi tanpa bukti yang kuat. Berbekal foto-foto orang hilang yang ia punya, Harum pura-pura lagi menghabiskan waktu di aula losmen. Ia membawa setumpuk buku dan laptop lalu duduk di ruang santai, memilih kursi yang menghadap langsung ke lorong jalan agar bisa melihat dengan jelas wajah-wajah para tamu yang lewat. Selama dua hari berturut-turut Harum berjaga di ruang santai aula, makan tidur di kursi itu, hanya beranjak sebentar untuk ke kamar mandi. Ia juga mengabaikan panggilan teman-teman kantornya. Padahal ia sudah mengajukan untuk kerja dari rumah (yang tentu saja ditolak) karena pekerjaannya sebagai jurnalis yang harus turun ke lapangan, apalagi sedang ada kasus besar yang belum terselesaikan. 

Buah dari kesabarannya ia dapatkan pada malam ketiga pengintaian. Jam hampir menunjukkan pukul 12 malam, Harum sudah tertidur pulas berbantal buku Pengantar Jurnalistik. Sebagai antisipasi ia sudah meletakkan kamera saku miliknya dan diletakkan di pot bunga yang ada di taman. Harum terbangun oleh suara berisik rombongan backpacker yang datang jam empat pagi. Ia mengerjapkan matanya, menarik nafas dalam-dalam lalu beranjak menuju pot bunga. Harum mempercepat video sampai akhirnya rekaman itu menunjukkan satu orang yang berjalan tepat jam 1 malam. Ia segera memperbesar video itu dan menyamakan dengan foto-foto orang hilang yang ada di ponselnya.

Itu Tika, orang pertama yang dilaporkan hilang oleh ibunya.

Harum tidak mempercayai matanya, berulang kali ia memastikan bahwa yang dia lihat benar. Suara azan subuh sayup-sayup terdengar, ia segera membereskan barang-barangnya dan naik ke lantai dua. Harum tidak langsung masuk ke kamar melainkan menatap lama pintu kamar nomor 5. 

Pagi-pagi sekali Harum sudah ada di kantor polisi, berdiri dengan cemas menunggu Bripka Bakti. Beberapa menit kemudian Harum sudah duduk di hadapan Bripka Bakti yang menatapnya tidak senang. Harum menjelaskan sedetail mungkin hasil temuannya dan kemungkinan ia tahu dimana orang-orang yang hilang itu berada.

“Hmm… seperti cerita di buku-buku. Kamu yakin tidak sedang mengarang cerita?” tanya Bripka Bakti sambil melihat foto yang diletakkan Harum di atas mejanya. 

“Saya belum sepenuhnya yakin… tapi foto ini adalah buktinya.” 

“Belum cukup kuat… bisa saja ini hasil editan.” 

Harum geram sekali, ia mengambil kembali foto itu dan segera pergi, meninggalkan bermacam pertanyaan di kepala Bripka Bakti. Sebenarnya ia sependapat dengan Harum, namun ia juga belum yakin. Hasil dari investigasi dan analisis digital forensik CCTV sepanjang jalan-jalan utama di Kota Binar menunjukkan hampir semua orang yang dilaporkan hilang terakhir terlihat berada di depan losmen Asteria. Mereka berdiri selama setengah jam kemudian berbalik pergi, tidak ada bukti orang-orang itu masuk melewati gerbang losmen Asteria.

Duwi terlihat sibuk mengetik artikel sampai tidak sadar Harum sudah duduk di sebelahnya. Melihat senyum Harum yang tidak seperti biasanya, Duwi tahu ia akan segera terlibat suatu masalah besar. Harum bercerita penuh semangat dengan berbisik setelah menyeret Duwi keluar ruangan dan mencari tempat sepi di luar kantor. 

“Gimana menurutmu wi?” tanya Harum antusias, Duwi adalah harapan satu-satunya, ia berharap Duwi percaya dan mendukung rencananya.

“Aku ragu Rum… polisi juga belum mengeluarkan update lagi tentang kasus ini. Kita menunggu saja, jangan ikut campur Rum…” Duwi mencoba mengingatkan, sama seperti pertama kali ia mencegah Harum tinggal di losmen Asteria

“Jadi kamu ngga mau bantu aku?” 

“Maaf ya Rum… kali ini aku ngga bisa. Aku masih mau kerja disini.”

Duwi meninggalkan Harum yang tertunduk lesu karena kecewa. Sepertinya ia memang harus mencari tahu sendiri. Harum berencana akan menjadi tamu yang membutuhkan Layanan Satu Pintu. Setelah ia tahu bagaimana sistem layanan itu, dia akan perlahan mendekati orang-orang yang hilang (jika benar mereka ada disana) lalu diam-diam menghubungi kantor polisi untuk mengepung losmen Asteria. Jika rencananya berhasil, besok pagi kasus ini bisa terselesaikan dan ia siap melakukan siaran langsung di lokasi kejadian.

Harum membutuhkan banyak peralatan untuk aksinya malam nanti. Ia meminjam (lebih tepatnya mengambil tanpa izin) perekam suara dan kamera tersembunyi di gudang peralatan kantor. Ia juga berpesan kepada anak magang yang ada di timnya jika hari itu ia akan pulang lebih cepat, tolong jangan hubungi aku dulu sampai nanti malam ya! tambahnya.

“Tumben sudah pulang mba Harum.” sapa ibu Ria yang sedang duduk di belakang meja resepsionis. 

Jantung Harum berdegup kencang, rasanya seperti tertangkap basah melakukan kejahatan. Harum hanya balas tersenyum, mengangguk singkat dan melanjutkan berjalan. Sampai di kamar ia merebahkan badannya. Ini semua demi kebaikan, bisiknya dalam hati. Sekarang ia berharap apa yang diduganya selama ini tidak terjadi. Mungkin ketukan tiga kali yang ia dengar setiap malam dari kamar nomor lima dan kemunculan Tika yang dikabarkan hilang hanyalah halusinasinya saja karena terlalu lelah bekerja. 

Berulang kali Harum menghafal urutan rencananya dan apa saja yang harus dilakukan ketika terjebak atau jika ia tidak selamat malam ini. Lima menit sebelum pukul sepuluh Harum berdiri mematung di belakang pintunya. Ponselnya berdering di saat yang tidak tepat, ibunya melakukan panggilan sebanyak lima kali namun tidak ia jawab. Harum hanya memberikan pesan singkat : “Bu, aku sedang lembur kerja, nanti aku telepon.”

Harum menarik nafas panjang lalu melangkah keluar kamar. Sedetik kemudian ia sudah sampai di depan kamar nomor 5. Tok..tok..tok. Tidak ada yang terjadi. Harum mengangkat tangan untuk mengetuk sekali lagi namun tiba-tiba pintu terbuka pelan dan terdengar suara dari dalam.

“Selamat datang di Layanan Satu Pintu.”

Seorang wanita bertubuh tinggi menyambutnya sambil menelungkupkan tangan di dada, setelah itu ia mempersilahkan Harum masuk. Ruangan itu memiliki desain dan luas yang persis dengan kamar Harum. Bedanya tidak ada kasur, melainkan meja resepsionis dan empat kursi berhadapan di tengah-tengah ruangan. Harum terkesiap dan berjalan mundur saat melihat deretan foto orang-orang yang dilaporkan hilang tertempel dengan rapi di dinding. 

“Ada yang bisa kami bantu? Sebelumnya perkenalkan saya admin Lia.” kata wanita itu sambil terus tersenyum

“Oh ap.. O.. yaa… sa.. sss… ehem… saya mau memakai Layanan Satu Pintu.” Jawab Harum tergagap. Ia harus bisa mengendalikan diri, setelah duduk ia diam-diam meraba saku jaketnya, memastikan perekam aman dan kamera tersembunyi di kalungnya berfungsi. Lia menjelaskan panjang lebar tentang Layanan Satu Pintu dan meminta Harum menandatangani surat kontrak yang langsung ia tandatangani tanpa membaca isinya. 

“Kalau boleh tahu, siapa mereka?” tanya Harum sambil menunjuk foto di belakang Lia. 

“Oh mereka pengguna layanan kami. Foto kak Harum juga akan tertempel disana. Tolong jangan bergerak dulu… satu… dua… tiga…!”

CKREK!

Cahaya kamera yang menyilaukan membuat Harum refleks menutup mata, terdengar suara mendesis lalu ia menghirup bau gas yang membuatnya tertidur. Entah berapa lama ia terlelap, tapi saat ini ia mendengar suara-suara.

“Ceritakan tentang dirimu sejujur-jujurnya tanpa dikurangi dan ditambahi.”

“Apa saja hal yang kamu takutkan?”

“Apa yang membuatmu marah saat ini?”

“Bisa kamu ceritakan apa atau siapa yang paling ingin kamu lupakan?” 

Harum sadar mulutnya menjawab semua pertanyaan itu tanpa bisa ia kendalikan. Rasanya seperti dihipnotis, anehnya ia merasa tubuhnya sangat ringan. Apakah aku sudah mati? 

Harum merasa ada yang menggoyang bahunya dan menepuk lembut pipinya. Ia mencoba membuka mata perlahan dan melihat wajah ibu Ria yang cemas menatapnya dari dekat. “Rum… Harum… bangun nak…” 

Sontak ia duduk, nafasnya memburu, ia melihat sekelilingnya dan menyadari ia sedang ada di ruang santai. Tapi aula ini berukuran tiga kali lebih besar. Harum mulai mengenali wajah orang-orang yang sedang beraktifitas di depannya. Mereka adalah orang-orang yang dilaporkan hilang. Harum menengok ke arah ibu Ira yang masih terus menatapnya. 

“Tidak perlu dijelaskan… ibu sudah tahu semua rencana kamu dan terpaksa ibu gagalkan.” 

Betapa terkejutnya Harum, melihat Duwi keluar dari dapur, membawa satu gelas air minum.”Minum dulu Rum… kami akan menjelaskan semuanya.”

“Layanan Satu Pintu adalah tempat untuk melarikan diri, menyembuhkan dan menemukan. Ketika berusia sepuluh tahun, saya menyaksikan sendiri bapak menghajar ibu hingga meninggal. Tidak ada yang menolong, tidak ada yang peduli. Jadi ibu buat bangunan warisan orang tua ini menjadi losmen dan pusat rehabilitasi mental.” Ibu Ria mulai bercerita dan menyebutkan nama-nama orang yang dilaporkan hilang.

“Tika, sejak lulus sekolah dipaksa bekerja untuk melunasi hutang keluarganya. Fajar sejak kecil selalu dipukuli oleh ayahnya dan diancam akan dibunuh. Sifa dilecehkan ayah kandungnya sendiri hingga harus menggugurkan kandungan diam-diam tanpa keluarganya tahu. Rosida anak pak Mul, adalah korban penindasan di sekolah. Sekar selalu dipukuli suaminya selama hamil sembilan bulan. Semua orang datang kesini karena suatu alasan Harum… mereka memang sengaja menghilang.” 

“Sebenarnya kamu adalah pelanggan pertama Layanan Satu Pintu Rum…” kata ibu Ira.

“Kamu bukan anak tunggal, kakakmu meninggal karena hanyut di sungai dan kamu menyaksikannya Rum… sejak saat itu kamu berubah karena perasaan bersalah yang menyiksa. Orang tuamu meminta bantuan ibu… setelah sembuh kalian memutuskan untuk pindah kota.” 

Ingatan demi ingatan kembali memenuhi kepala Harum. Ia menangis tersedu dan menyebut-nyebut nama kakaknya. Duwi segera memeluk Harum yang mulai berteriak sambil memukul-mukul tubuhnya. Malam itu, semua rahasia losmen Asteria terungkap tapi tetap tersimpan rapat.

BAB 6. Bintang Jatuh

Kasus orang hilang resmi ditutup diganti dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, perundungan dan kasus kejahatan lainnya. Semua berbalik arah, para pelapor orang hilang berubah menjadi tersangka atau saksi mata. Kota Binar yang dulunya tenang menjadi gempar, orang-orang mulai berani bersuara jika ada ketidakadilan di depan mata. Petugas kepolisian dan pegawai pemerintahan dari daerah hingga pusat bekerja keras untuk menangani semua permasalahan. 

Harum masih tidak percaya dengan kejadian satu minggu yang lalu. Bagaimana bisa ada ruangan lebih luas di dalam losmen Asteria? Apakah ada ruang bawah tanah? Duwi dengan sengaja tidak memberitahu lebih jelas untuk menggoda Harum. Ia hanya tahu bahwa pintu masuk menuju kamar nomor lima tidak hanya melalui gerbang depan, melainkan ada jalan lain yaitu melalui swalayan di sebelah losmen yang tidak tertangkap kamera CCTV. 

Selain itu Harum juga dibuat bimbang karena masa pindah tugasnya sudah berakhir. Pemred memberinya tiga pilihan, kembali ke kota asal, tetap di kota Binar atau pindah tugas ke kota lainnya. Sebenarnya Harum masih ingin tinggal lebih lama disini. 

“Maksudnya kamu mau tinggal lebih lama disini kan Rum?” Canda Duwi sambil menunjuk dadanya. 

Navigasi

Episode 1 MANUSIA SIAL

Bersamaan dengan pesanan kopi yang baru saja diantarkan, hujan mulai turun. Arun mengamati bulir air hujan di kaca jendela yang turun satu persatu. Pandangannya menembus ke masa lalu, baginya hujan adalah hari kematian. Ia tidak berani menghitung sudah berapa kali ia harus menerobos hujan dengan sepatu penuh lumpur untuk mengantarkan satu per satu keluarganya ke tempat istirahat terakhir. Bahkan ada waktu dimana ia hanya bisa melihat pemakaman dari satu pesan di ponselnya.

“Kasihan si Arun sekarang ia hidup sendirian..”

“Jangan dekat-dekat, katanya dia pembawa sial.” 

Arun menyeruput kopinya untuk membawa dirinya kembali. Ia baru menyadari bahwa tempat duduknya selalu sama, di sudut ruang sebelah jendela dimana ia bisa melihat dengan jelas orang yang keluar masuk kafe. Ia berhitung dalam hati dan menebak Mega sahabatnya akan segera datang dengan mantel hijau kesukaannya.

“Kenapa sih selalu hujan pas kamu ngajak ngopi… dan selalu di tempat ini.” Mega menyibakkan rambutnya yang basah lalu duduk di depan Arun.

“Sudah pesan?”

“Sudah.. Kaya biasanya.. Hari ini kenapa lagi?” 

Mega adalah orang yang tidak suka basa-basi. Ia tidak peduli apakah itu suasana yang tepat atau bukan yang penting ia harus tahu intinya lebih dulu. Mega mengamati Arun dengan wajah memaklumi. Ia selalu merasa Arun seperti sedang berada di atas perahu yang bisa kapan saja tenggelam.

“Menurutmu siapa lagi yang akan mati kali ini?”

Episode 2. Pembunuh Rahasia

Mega masih ingat hari-hari ia menemani Arun yang selalu menangis. Setiap tahun ia harus kehilangan anggota keluarganya sejak usia 15 tahun. Pertama ibunya meninggal karena penyakit turunan, satu tahun kemudian ayahnya yang tidak kuat menanggung kesedihan sepeninggal istrinya ikut meninggalkan Arun. Selanjutnya dia juga ditinggalkan adik kesayangannya yang mengidap penyakit sama dengan sang Ibu. 

“Tidak ada.”

Mega menjawab santai sambil tangannya sibuk memotong donat favoritnya yang baru sampai. Arun tersenyum, ia tahu Mega pasti kesal karena selalu mendapatkan pertanyaan yang sama setiap kali mereka bertemu.

Arun selalu menyukai sikap tak acuh Mega, sejak dulu dia satu-satunya orang yang tidak menatapnya dengan pandangan iba. Ia hanya selalu ada disisinya setiap hujan turun, menemaninya dalam diam. Hingga ia menemukan alasan kuat untuk tetap bertahan hidup. 

“Kalau ada lomba adu nasib sial aku pasti ikut.”

“Ya, kau pasti menang.”

Mega mengamini, ia bahkan merasa permasalahan hidupnya yang sering membuatnya mengeluh tidak ada apa-apanya dibanding Arun. Ia mungkin sudah tidak kuat dan pasti nekat ikut pergi juga meninggalkan dunia ini. 

“Sepertinya aku harus meninggalkan kota ini Meg. Usiaku hampir 23 tahun tapi aku hanya terjebak disini.”

“Ya… pergilah, jangan menua dan membusuk disini.” 

“Tapi aku takut Meg…”

“Takut apa? Tenang rumahmu aku jaga. Aku sudah capek melalang buana, sekarang giliranmu.”

“Aku takut membunuh orang lagi..”

Episode 3. Seribu Langkah

Mega bergidik ngeri saat memasuki halaman rumah Arun yang luas dan sepi. Hari masih sore tapi ia bisa merasakan hawa tidak nyaman. Ia lega saat melihat Arun membuka pintu dan melangkah keluar.

“Yakin nih ngga mau tinggal di rumahku aja pas bulan puasa nanti?”

“Makasih Meg tawarannya, tolong sampaikan juga ke ibumu. Tapi aku di rumah saja, ada Mak Yem dan Heru kok.”

Heru adalah sepupu dari kakak ibunya yang kebetulan sedang Magang di kota Arun tinggal. Jarak usia mereka hanya tiga bulan, walaupun terasa canggung setelah lama tidak bertemu, Arun sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Heru di rumahnya. 

Mereka berjalan beriringan dengan para warga yang berbondong-bondong menuju pemakaman. Sudah menjadi tradisi warga untuk ziarah kubur sebelum puasa. Tujuannya untuk mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini.

“Kalau jadi kamu aku pasti ngekos deh, di rumah segede itu sendirian… Ada mak Yem sih tapi kan sore udah pulang.”

“Aku udah nggak takut apa-apa Meg, hantu atau apalah itu tidak menakutkan sama sekali. Aku cuma takut kehilangan orang yang kusayangi.” 

Di depan makam orang tuanya Arun meminta izin bahwa ia akan melakukan perjalanan panjang. Ragu di hatinya segera menghilang. Ia bertekad akan menghitung setiap langkahnya mulai dari langkah pertama ia keluar dari pintu rumahnya. 

“Jadi berangkat kapan? Dan kemana? Sudah punya tujuan belum?” Mega langsung menyodorkan banyak pertanyaan di perjalanan pulang. Ia sangat tahu dari mata Arun yang berbinar bahwa temannya itu sudah yakin sekarang.

“Habis lebaran… sudah punya daftar tempat yang ingin aku datangi sih. Tapi kemanapun itu aku siap.”

Mega memandang wajah Arun lekat-lekat, ada perasaan tidak tega. Ia ingin sekali menemani perjalanan Arun, namun ia juga punya tujuannya sendiri. Tinggal beberapa meter lagi mereka sampai di rumah Arun. Langkah mereka terhenti saat melihat Heru berlari keluar rumah membawa tas ransel dan kotak uang disusul mak Yem yang berteriak marah.

“Ya Allah! Mau kemana kamu?! Itu uangnya mba Arun!”

Episode. 4 Baur

“Maafin Heru ya run, budhe bener-bener nggak tahu kalau dia lagi magang disana. Pas pulang kemarin dia nggak cerita apa-apa. Kok bisa-bisanya sampe nyuri uang… Ya Allah… ”

“Iya budhe…”

Budhe Erlin terisak di ujung telepon, merasa bersalah. Arun yang hidupnya sudah banyak kejutan dari kecil tidak banyak merespon. Sebaliknya mak Yem dan Mega yang mencak-mencak marah karena kelakuan tidak terduga si Heru.

“Kita laporin polisi aja gimana mba?” Mak Yem mengusulkan dengan penuh semangat.

“Iya setuju… nomor hp nya juga ngga aktif dari tadi run… awas aja nanti kalau ketemu. Larinya cepet banget tu anak!” balas Mega sambil memijat kakinya yang pegal karena sempat mengejar Heru.

Arun tidak menyetujui ide mereka, ia memutuskan untuk membiarkan si Heru sampai nanti dia berbicara sendiri padanya. Uang yang dicuri Heru adalah uang toko bahan kue milik orang tua Arun yang sekarang diwarisinya. Rencananya uang itu akan dibelanjakan kembali stok bahan-bahan kue yang sudah habis. Minggu ini pendapatannya lumayan banyak karena sudah memasuki bulan Ramadhan. 

“Nggak perlu… uang yang diambil nggak banyak kok. Dia salah ambil tuh hihi, pasti dia kecewa pas buka kotak itu.”

Mega dan mak Yem saling menatap tidak percaya dengan tanggapan Arun. Sepertinya kesepian memang sudah membuatnya sedikit tidak waras. Arun menutup drama sore itu dengan mengajak sholat tarawih ke mushola. Sepanjang sholat tarawih ia tidak fokus. Selain pikirannya dipenuhi tentang rencana perjalanannya, ia juga harus menjawab berbagai pertanyaan tetangga yang duduk di sebelahnya. 

“Gimana kabarnya mba Arun? Sehat mba… “

“Cepat banget udah puasa lagi ya mba… biar ngga kesepian cepetan cari pasangan mba Arun.. udah punya calon belum?”

“Eh tapi mba Arun belum lulus ya? Apa sudah? Soalnya kok ga keliatan pakai kebaya wisuda gitu.”

“Kalau bisa mba cari jodohnya yang dekat aja… udah ada rumah dan toko tinggal dirawat aja. Kasian nanti bapak ibuknya kalau ditinggal mbak Arun jauh, iya kan?

Arun berhasil dipojokkan, ia terpaksa hanya menjawab dengan iya dan menganggukkan kepala saja. Buru-buru ia pulang setelah sholat tarawih selesai, belum sempat ia melepas mukenanya, notifikasi hp-nya berbunyi. Satu pesan dari Heru.

“Mba Arun… mbaa aku minta maaf ya mba. Aku terpaksa banget mba, sumpah aku nggak berniat nyuri. Situasi di rumahku lagi berantakan banget mba, ibuku dikejar penagih pinjol. Ibu maksa aku buat kesini minta uang ke mba Arun. Tapi aku malu banget, jadi aku ambil aja kotak di kamar mba Arun. Aku bakal ganti mba… sumpah… maaf sekali lagi ya mba Arun.. dan terimakasih udah nampung aku seminggu ini.” 

Eps. 5 Navigasi

“Setiap orang setidaknya harus pernah melakukan perjalanan. Pergi jauh dari rumah, berkelana, merantau, atau menggelandang sekali pun. Untuk tahu sejauh mana kita mengenal diri sendiri.”

Kehidupan Arun selama bulan puasa seperti sebuah repetisi, mengulang kebiasaan yang sama setiap tahun. Sesekali mak Yem sengaja pulang agak malam agar bisa menemani Arun buka puasa. Beberapa hari sekali Mega menginap sampai sahur dan berhasil memaksanya ikut buka bersama keluarganya. Selain itu Arun benar-benar sendirian. Ia ingin menikmati waktu-waktu terakhirnya di rumah sebelum pergi.

Ia selalu membayangkan sedang berbuka dan sahur bersama keluarganya. Dalam bayangannya ayah dan ibunya sudah terlihat tua dan adiknya sudah duduk di bangku SMA. Puncaknya ia menangis terisak sampai ketiduran. Besoknya ia mulai mengemasi barang-barangnya yang akan dibawanya pergi.

Mega berhasil membantunya mendapatkan pegawai untuk mengelola tokonya. Arun dan pegawai itu melakukan perjanjian dengan disaksikan pengacara. Sedangkan rumahnya sudah ia tempeli tulisan besar-besar DIKONTRAKKAN. Mega berjanji akan selalu memberikan update terbaru untuk usaha orang tuanya dan rumahnya. 

Tapi beberapa hari sebelum kepergian Arun, Mega sengaja menghindar. Ia diam-diam menangis; suatu hal yang jarang terjadi, dan ia tidak ingin Arun melihatnya. Saat akhirnya dia berhasil mengontrol dirinya ia kembali menemui Arun dengan wajah ceria seolah tidak terjadi apa-apa.

Arun sengaja memilih hari kepergiannya di hari kedua lebaran. Pikirnya stasiun pasti sudah sepi, tapi malah sebaliknya. Masih banyak orang yang pulang dan pergi, seperti dirinya. Tangan kanan memegang erat koper besar, tangan kiri menggenggam satu kresek makanan dan ransel tinggi di pundak membuat beberapa orang meliriknya. Seolah-olah ia membawa satu rumah beserta isinya untuk perjalanan perdananya ini

Mega mengamati dari celah dinding di ruang tunggu untuk bisa memastikan sahabatnya menaiki gerbong yang benar. Terlintas di pikirannya untuk menerobos pintu masuk karena ia benar-benar cemas. Berulang kali Arun memberi tanda aman dan membuat gerakan tangan seolah mengusir Mega pergi dari stasiun. 

Suara peluit disusul sirine kereta menandakan perjalanan Arun akan segera dimulai. Saat kereta perlahan berhenti ia segera bergerak mengikuti porter yang membawa koper dan ranselnya. Setelah menemukan tempat duduknya, ia mengirim pesan kepada Mega.

“Aku pergi dulu Meg… mari bertemu beberapa tahun lagi. Terimakasih banyak dan jangan menangis 😄”

Arun menatap keluar jendela, rumah-rumah,  orang di sawah terlewati dengan cepat tanpa jeda. Perjalanan arun akan sama dengan kereta api. Berkelok, melewati terowongan gelap, berhenti sebentar lalu pergi lagi mengikuti navigasi.

***selesai***

Kapan Kapan

Setiap kali mengunggah foto datang ke pernikahan teman atau saudara, aku selalu mendapat pertanyaan dan komentar yang sama.

“Kamu kapan?”

“Ke kondangan orang terus, kapan dikondangin?”

“Semoga habis ini kamu ya, teman-temannya udah semua lho…”

“Jangan lupa sambil cari jodoh kalau ke kondangan.”

Responku selalu sama,“Iya doakan ya…” atau menjawab dengan meyakinkan seperti,”Tiga bulan lagi sih…” walaupun belum tahu bakal nikah sama siapa. Dahulu jika ada yang menanyakan hal serupa aku akan mencak-mencak dan galau akut. Merasa menjadi orang paling tidak beruntung di dunia. Tapi sekarang aku sudah mulai legowo dan biasa saja.

Mungkin bagi sebagian orang yang tidak pernah melalui proses sepertiku akan memandang aneh dan tidak tahu bagaimana rasanya ada di posisi ini. Bahkan tanpa bertanya lebih jauh mereka akan menghakimi dengan pertanyaan yang menohok.

“Masak kamu ngga pengen sih kaya kita?”

“Serius kamu lagi ngga deket siapa-siapa? Umur segini loh…!”

“Makanya jangan pilih-pilih, mba.”

Kalimat terakhir itu pun sering datang dari beberapa orang yang baru kenal beberapa menit. Biasanya sih orang-orang lebih tua dariku yang kebetulan bertemu dalam sebuah acara. Aku masih bisa memahami dan menanggapinya dengan tersenyum saja.

“Jangan lama-lama mba, kasian nanti anaknya masih kecil kita udah tua.”

“Emang dulu pengen nikah umur berapa?”

Di bangku sekolah dulu aku selalu memiliki angan-angan ingin menikah di umur 25 tahun. Lulus kuliah umur 22 tahun, bekerja 3 tahun lalu menikah. Tapi ternyata setelah memasuki “Dunia Nyata” semua itu hanyalah rencana semata. Mencari kerja tidak semudah itu, apalagi mencari jodoh. Belum lagi harus melewati kegagalan, kekecewaan, dan patah hati.

“Mending kamu cari teman sekolah atau kuliah aja, kaya kita-kita nih.”

Well, aku pun ingin sekali. Jujur aku juga merasa iri jika melihat kisah indah teman-temanku. Namun cerita orang tidak bisa disamakan. Seperti si A yang bertemu jodoh secara tidak sengaja di kereta. Bukan berarti aku harus berharap hal yang sama dengan mewanti-wanti,”Mana ya jodohku” ketika aku sedang di dalam kereta atau bus. Walaupun tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi.

Kalau dibilang aku tidak mau usaha, apakah mau dikenalkan sama anak rekan ibuku, atau dengan keponakan tetangga ipar sepupunya tante temannya kakakku tidak termasuk hitungan?

Aku juga mulai mengikuti kelas pra nikah, seperti kelas Diorama (Dialog Rumah Tangga) yang pertemuan pertamanya saja sudah dimulai dengan pertanyaan yang membuat overthinking,“Untuk apa menikah?” hingga belajar dan memahami tentang seks dalam rumah tangga.

Persimpangan

#FlashFiction #FiksiPendek

Seorang perempuan yang tengah duduk di bangku paling depan dalam bis sedang sibuk menata kerudungnya. Sesekali ia menyipitkan mata, mencoba membaca nama jalan melalui jendela. Memastikan bahwa tempat tujuannya masih jauh. Bus yang membawanya bergetar keras ketika melewati jalan berlubang. Sopir bis terlihat santai mengemudikan bus. Tangannya dengan lihai memutar ke kanan dan ke kiri seolah sedang bermain saja. Menghiraukan pekik tertahan penumpang yang ngeri setiap kali bus mendahului truk-truk besar di depan.

“Prei… “ teriak kenek bus.

                Setiap kali kenek bus meneriakkan kata itu sopir langsung banting setir ke kanan untuk segera mendahului kendaraan di depannya. Bahkan jarak bus dan truk hanya tinggal satu senti ketika melaju ke depan. Ternyata tugas kenek bus lah untuk memastikan aman atau tidaknya bus untuk mendahului kendaraan di depan. Mata mereka setajam elang, seolah bisa menembus dan memprediksi keadaan jalanan bahkan di waktu malam.

                Berbeda dengan penumpang lain yang selalu waspada, perempuan yang duduk di kursi depan terlihat paling nyaman. Ia menikmati setiap gerakan dan getaran hebat bus yang meliuk-liuk di jalan. Ia terbiasa dengan situasi tersebut. Bahkan ketika bus terlonjak dan mengeluarkan decit ban ketika rem mendadak. Perempuan itu malah tertawa, ia serasa menaiki roller coaster. Lalu ia mendadak terdiam, tatapannya menerawang dan raut wajahnya berubah.

                Ada perasaan yang menyesakkan dadanya. Lalu ia menangis, segera ia memalingkan wajahnya ke arah jendela. Tetapi air matanya terus mengalir, diusapnya berkali-kali dengan ujung kerudungnya. Pandangannya memburam seiring dengan itu hujan mulai turun, kaca jendela terlihat berkilau terkena cahaya. Lalu ia bisa melihat semua adegan terulang, semua kilasan peristiwa saling bergantian muncul. Beberapa bentuk wajah saling menimpa. Menatapnya lama lalu menghilang. Perempuan itu menggelengkan kepalanya, lalu mengusap sekali lagi air matanya. Ia mencoba menghentikan air matanya dengan menengadah. Untungnya kursi di sebelahnya kosong.

                Perempuan itu kembali menyipitkan mata, dan mulai beranjak berdiri. Ia mendekati kenek dan memberi isyarat tempat dia turun sudah dekat. Dari kejauhan ia melihat seseorang sudah menunggunya di bawah lampu pinggir jalan. Sejenak perempuan itu ragu untuk turun ketika bis perlahan mulai melambat. Kernet membukakan pintu dan membentak perempuan itu untuk segera turun. Ia baru menyadari bahwa keputusannya untuk turun akan ia sesali ketika ia melihat seringai mengerikan muncul di wajah orang yang telah menunggunya.

Wawancara

#flashfiction #fiksisingkat #cerpen

Bus ekonomi yang kutumpangi penuh sesak dengan penumpang dan berjalan seperti sedang ikut pawai, pelan sekali. Bau khas bus berbaur dengan bau keringat serta samar-samar aku mencium aroma khas minyak kayu putih. Penumpang di sebelahku mendengkur keras, kepalanya bergoyang ke kanan kiri. Setiap kali kepalanya miring ke arahku, aku segera menghindar dan dia akan tersentak kaget lalu mendengkur lagi. Apakah pagiku yang buruk ini merupakan sebuah pertanda?


Aku berharap bajuku masih tetap rapi dan wangi ketika wawancara nanti. Aku sudah sangat percaya diri bahwa aku akan mengakhiri masa pengangguranku hari ini; jika aku tidak terlambat. Kucoba mengalihkan perhatian untuk mengusir rasa cemas dengan membaca tulisan di kaca bagian depan bus.


Surabaya – Jogja… Surabaya – Jogja … Surabaya – Jogja


Kubaca berulang kali hingga tulisannya terlihat kabur dan berubah menjadi tayangan kilas balik kegagalanku ketika melamar kerja. Ini bisa menjadi prestasi membanggakan yang bisa aku ceritakan nanti di masa depan. “Kamu masih enak… dulu tuh ya saya ditolak bekerja berulang kali. Rasanya frustrasi sekali.”


Bus akhirnya sampai di terminal dan semua penumpang segera bersiap untuk berebut turun. Aku yang duduk di kursi paling depan bergegas mendekati pintu keluar. Setelah turun dari bis aku segera memesan ojek online dan beberapa menit kemudian aku sudah sampai di tempat wawancara. Bisa kurasakan suasana tegang di ruang tunggu. Aku bisa melihat wajah mereka yang cemas sama sepertiku. Jam sudah menunjukkan pukul delapan tepat. Seseorang keluar dari ruangan membawa selembar kertas. Ia menginstrusikan kami untuk berkumpul di depannya.


“Selamat pagi teman-teman… Terimakasih atas antusiasnya untuk wawancara hari ini. Mohon maaf kami ingin menginformasikan bahwa wawancara hari ini ditunda dikarenakan ada acara mendadak di kantor pusat. Jadwal selanjutnya akan kami umumkan segera. Kami persilahkan untuk meninggalkan lobi, hati-hati di perjalanan pulang semuanya. Semangat!”

https://insidelombok.id/berita-utama/pelamar-kecewa-lowongan-kerja-puskesmas-cakra-ternyata-hoaks-2/

Salah Jalan

#flashfiction #fiksipendek

Aku bisa merasakan langkah kaki si penguntit semakin dekat. Tapi setiap kali aku berhenti dan menoleh tidak ada siapapun di belakangku. Hujan semakin deras dan tanganku terasa kebas karena menggenggam gagang payung terlalu kuat. Sial! Seharusnya aku tidak mengambil jalan sepi ini. Aku menggigil karena hawa dingin dan rasa takut.

“Tolong jangan ikuti aku lagi.”

Aku memohon dalam diam. Hari ini sepertinya aku sedang sial. Mulai dari terlambat berangkat kerja dan kehabisan uang sehingga terpaksa berjalan kaki pulang ke rumah. Daya baterai ponselku lemah dan tidak ada seorang pun yang bisa kuhubungi.

Sekarang aku bisa mendengar hembusan nafas yang terengah-engah di belakangku. Kupercepat langkah ketika aku melihat dari jauh ada seorang pengendara motor yang berteduh di depan toko. Tapi belum sempat aku berteriak, sebuah tangan berukuran besar mendekap mulutku. Tenaganya terlalu kuat sehingga aku tidak bisa berontak lalu semua terasa sesak dan gelap.

Rasanya aku tertidur lama sekali. Saat kubuka mata pandanganku kabur dan kurasakan perutku sakit sekali seperti ada yang merobek perutku dengan pisau tajam. Aku tidak bisa berteriak. Aku bisa merasakan darah mengalir deras ketika kucoba meraba perutku. Ada sosok tinggi besar bergerak mendekatiku. Aku tidak bisa memandang jelas wajahnya karena ruangan yang gelap, aku hanya bisa mendengar suaranya dengan jelas.

“Sudah ngga sedih lagi kan? Beban di hatimu sudah hilang… aku baru saja membantu mengeluarkan ‘isi hatimu’.”

STOP MOM & BABY SHAMING

Ditulis oleh : Annisa Rosalina
Penyunting : Sri Rahayu Ramadhani


Beberapa waktu yang lalu seorang teman yang berkunjung ke rumah saya menceritakan tentang kegalauan sahabatnya yang merasa insecure selama hamil. Ia merasa dirinya selalu merasa tertinggal dari teman-temannya yang sama-sama hamil. Kondisinya tidak bisa disamakan dengan mereka yang mampu melakukan pemeriksaan pra-konsepsi sebelum program hamil. Sedangkan setiap hari ia harus disuguhi postingan story teman-teman lainnya yang sedang mengikuti kelas hamil, menerapkan hidup sehat, pokonya benar-benar teratur. Dirinya selalu merasa salah satu temannya melakukan judgement atau mengomentari dirinya yang hamil begitu saja tanpa persiapan yang matang.


Hal tersebut sudah bisa dikategorikan sebagai mom shaming. Lalu apa itu mom shaming? Mom Shaming adalah mempermalukan ibu lainnya dan merasa dirinya lebih baik. Biasanya ini terjadi di lingkungan terdekat tanpa disadari. Perlu diketahui bahwa kondisi setiap wanita hamil tentulah tidak sama. Mulai dari kondisi fisik, ekonomi, keluarga, lingkungan, dan masih banyak faktor lainnya.


Mungkin bagi Moms yang memiliki suami dengan penghasilan finansial yang baik, tentu mampu mengikuti persiapan mulai dari Tes TORCH, kelas Parenting, Kelas Yoga Hamil dan masih banyak lagi. Tentu hal ini akan berbeda dengan Moms yang kondisi ekonominya berkecukupan. Tidak hanya masalah uang, tetapi dukungan suami dan keluarga juga penting. Mom yang punya suami dengan edukasi yang baik tentu berbeda dengan mom yang suaminya sedikit cuek. Maka dari itu edukasi seputar kehamilan wajib juga diketahui oleh suami.


Pastikan ketika Mom memiliki niat baik untuk memberi saran ngasih saran, pertimbangkan dulu kondisi Moms yang lain. Perasaan ibu hamil cenderung sensitif akibat perubahan hormon selama kehamilan. Hal tersebut membuat pengendalian suasana hati menjadi terganggu. Faktor lainnya seperti stress, kelelahan, perubahan metabolisme tubuh bisa membuat perasaan ibu hamil menjadi berubah-ubah setiap saat. Terkadang perkataan yang sebenarnya biasa saja menjadi suatu hal yang bisa menyakiti perasaan atau membuat mental ibu hamil menjadi tidak baik.


Untuk para Moms yang sering mendapatkan kritik atau saran dari orang lain, coba kita tarik nafas kemudian berpikir positif. Terima kenyataan bahwa kita akan mendapat komentar dari siapapun tanpa diminta. Saya tahu rasanya memang tidak akan selalu baik, tapi percayalah bahwa niat orang yang memberi saran pada kita, itu karena mereka peduli. Namun, Mom juga harus pintar filter pergaulan dan juga sosial media. Jauhi lingkungan yang toxic, dan lebih baik untuk bumil fokus pada persiapan kelahiran. Mungkin bumil bisa merelaksasikan diri dengan rutin jalan pagi, kemudian memasak, bisa nonton drama, dengerin music bareng debay, mengaji bagi yang muslim, that’s all its good for your baby, daripada dengerin gossip.


Percayalah semua orang tua itu ingin yang terbaik untuk anak mereka meski caranya berbeda. Beberapa hari lalu teman saya yang lain curhat tentang tumbuh kembang anaknya. Dimana teman saya itu memiliki anak yang 1 bulan lebih tua dari saudara sepupunya. Namun sepupunya yang jauh lebih muda sudah merangkak, sedangkan anak teman saya belum mulai merangkak. Padahal anak teman saya baru berusia 8 bulan, menurut tahap perkembangan bayi belajar merangkak usia 8 – 10 bulan. Ingat Mom, setiap anak itu tidaklah sama, ada yang motorik kasarnya lebih cepat, ada yang motorik halusnya lebih cepat. Hal itu sering dipermasalahkan orang tuanya dan dengan sadar menjadi membandingkan kondisi anaknya dengan saudara sepupunya.


Fenomena tersebut sekarang ini disebut dengan baby shaming. Baby shaming merupakan kritikan, sindiran yang sering terjadi di lingkungan masyarakat. Biasanya mereka saling mengomentari keadaan fisik si bayi karena hal tersebut yang paling mudah untuk dibandingkan. Sayangnya budaya baby shaming ini justru banyak dilakukan oleh orang terdekat.


Ibu mertua, ibu sendiri, ipar, suami, nenek, tetanggan dan masih banyak lagi. Mereka para pelaku baby shaming kerap menganggap ini hal sepele, seperti


“Eh kok hidungnya pesek gak kayak papanya,”


“Masih bayi kok kulitnya item,”


“Duh kecil-kecil gendut,”


“Sipit banget matanya,”


“Ya ampun niru siapa ini rambutnya keriting.”


Semua ini mungkin hal yang biasa bagi kalian, tetapi apakah kalian memikirkan perasaan si Ibu? Ibu yang sudah berjuang selama 9 bulan, melahirkan menahan sakit, setelah melahirkan pun si ibu ini masih harus memulihkan diri. Apakah kata-kata baby shaming ini pantas diucapkan? Dari sinilah banyak sekali kasus baby blues, dimana ibu tidak bisa menerima anaknya, yang kadang berakhir dengan tidak mau menyusui, menyiksa, bahkan membunuh.


So, mom jaga lisan kita ya, dan buat mom yang baru melahirkan keep positive thinking, your baby is special apapun dan bagaimanapun dia.


Tidak berhenti dari sekadar membandingkan pola hidup, tumbuh kembang anak. Mom & baby shaming itu salah satunya dimana kita menghakimi pilihan dari ibu lain, misalnya:


a. Ibu yang memberi sufor pada anaknya dibandingkan dengan ibu yang memberi ASI.
Pasti stereotype yang berkembang di masyarakat, bahwa ASI itu lebih baik. No, memang ASI itu baik, tapi kembali lagi pada kondisi tiap ibu. Saya pernah mendengar curhatan dari bidan, ini bidan lho ya, dia terpaksa memberi sufor pada anaknya karena tidak bisa memproduksi ASI. Ini bukan karena dia tidak mau, tapi memang tubuh si ibu tidak mampu. Padahal si bidan ini sudah konsumsi daun katuk, aneka vitamin, tapi tetap saja tidak bisa. So, mom jangan keburu menghakimi ibu yang memberi sufor pada anaknya ya.


b. Persalinan normal vs operasi sesar.
Masyarakat kebanyakan juga beranggapan bahwa ibu yang sesungguhnya adalah ibu yang melahirkan secara normal. Wait, mengapa harus begitu? Padahal ibu yang operasi sesar juga sama-sama merasakan sakit, sama-sama memiliki resiko kematian dimana perut yang disobek beresiko infeksi, setelah melahirkan dia masih harus belajar duduk, belajar jalan, karena sakit robekan di perut. Saya salah satu ibu yang melahirkan dengan cara sesar. Hal ini bukan keputusan saya, melainkan pertama kondisi Sastra yang sungsang, kedua Naya yang tidak kunjung turun ke panggul di usia 9 bulan lebih. Padahal saya dan dokter sudah memprogramkan untuk lahiran kedua dengan normal, namun dokter berkata hal tersebut beresiko, jika bayi belum turun ke panggul. Mau bagaimana lagi. Jadi, Mom jangan sepelekan ibu. Mau ibu itu sesar atau normal, mereka sama-sama berjuang, dan mereka sama layaknya disebut ibu.


c. Ibu berkarir vs ibu rumah tangga.
Masyarakat biasanya akan cenderung menganggap ibu rumah tangga sebagai sosok ibu sebenarnya. Hmm.. itu kalau kondisi duit suami kita cukup, kalo ada uang yang bisa ditanam, lalu berbuah. Yah kembali lagi, kondisi rumah tangga setiap orang berbeda. Misal si ibu tidak berkarir, sedangkan penghasilan si suami tidak mencukupi. Lalu buat biaya jajan si anak, biaya kesehatan, biaya pendidikan, belum lagi keperluan anak yang lain. Mungkin ibu yang berkarir sudah mempertimbangkan hal tersebut Mom.


Tidak ada orang tua yang tidak mencintai anaknya, mereka akan berusaha memberikan yang terbaik. Meskipun banyak hal yang harus mereka korbankan. Hanya saja jalan tiap orang tua berbeda karena kondisi tiap orang tua tidaklah sama. Hargai perjuangan setiap ibu, sebagai sesama ibu dan juga perempuan harusnya kita yang paling mengerti bagaimana rasanya. Harusnya kita yang paling bisa memberi dukungan. Apalagi jika masih keluarga dekat atau sahabat.


Sebelum kita berkomentar budayakan berpikir, budayakan menelaah, pahami kondisi terlebih dahulu. Kalau emang bener-bener peduli ya kita tunjukkan secara nyata, misalnya ajak bumil senam bayi bersama. Setahu saya puskesmas itu punya jadwal senam hamil gratis, jadi gak perlu ke kelas Yoga yang mahal. Kalaupun ada bayi yang perkembangan terlambat, ayo dedek bayinya diajak main bareng, terkadang belajar bersama lebih meningkatkan semangat bayi.


Jangan suka berkomentar Mom kalau cuma mau membandingkan-bandingkan, ingin diakui kalau kita lebih unggul. Ngga ada gunanya ya Mom, awas karma lho ya. Saya punya temen yang pinter banget waktu SD, padahal ibunya hanya penjual kopi, dan ayahnya tukang becak. Jangankan untuk makan-makanan bergizi saat hamil. Untuk makan cukup saja mereka harus berjuang. Namun nyatanya, apakah teman saya lalu menjadi bodoh? Tentu saja tidak.


Ingatkah Mom, akan cerita anak tukang becak yang viral karena S2 di Inggris. Hal tersebutlah yang menjadi cermin buat Mom, tidak selalu yang berawal buruk akan berakhir buruk, dan yang berawal baik juga berakhir baik. Tapi kita sebagai manusia selalu berusaha itu yang terpenting, dan kita saling menghargai usaha masing-masing.

CALON IBU PERLU TAHU! PENTINGNYA TES TORCH SEBELUM HAMIL

Penulis: Annisa Rosalina

Memiliki buah hati yang sehat adalah impian semua keluarga. Namun masih banyak calon ibu yang mengabaikan persiapan dini sebelum merencanakan untuk program hamil. Salah satu dampaknya adalah kendala pada tumbuh kembang si kecil. Disini saya akan menceritakan tentang pengalaman kehamilan anak pertama saya. Sastra adalah anak berkebutuhan khusus karena terinfeksi virus CMV di dalam kandungan. Membesarkan anak berkebutuhan khusus itu membutuhkan usaha lebih, baik dari biaya, tenaga, waktu dan dukungan dari keluarga, serta orang terdekat.

AWAL KEHAMILAN

Saya hamil anak pertama usia 21 tahun dan selama hamil saya tidak pernah absen minum susu, makan menu sehat, vitamin serta rajin jalan pagi dengan harapan agar buah hati kami sehat. Saat itu saya minum susu Anmum dan vitamin Folamil Genio. Ketika usia kandungan sudah menginjak 7 bulan, saya dan suami memutuskan USG untuk tahu posisi bayi. Kami lega mengetahui posisi kepalanya sudah di bawah. Tetapi di usia 8 bulan posisi bayi malah jadi melintang. Dokternya juga mengatakan bahwa ukuran kepala Sastra agak besar namun masih normal. Saya dan suami masih berpikir positif karena selama hamil saya selalu dalam keadaan sehat tidak pernah sakit bahkan demam atau batuk pilek.

Di usia kehamilan masuk 9 bulan kami USG lagi dan ternyata kepala si bayi berada di atas alias sungsang. Akhirnya dokter memutuskan harus operasi sesar. HPL (Hari Perkiraan Lahir) si kecil juga maju beberapa hari dari seharusnya. Waktu itu kita pergi ke klinik karena dari pagi perut udah terasa mules dan siangnya keluar lendir warna pink. Bidan mengatakan bahwa belum waktunya, masih kontraksi palsu. Menjelang petang tiba-tiba air ketuban pecah. Panik, kita pun ke klinik lagi, setelah di cek katanya masih pembukaan 2. Suami yang khawatir langsung memutuskan untuk opname saja.

Malam itu kepala si kecil sempat berada di bawah dan harapan untuk lahiran normal bisa terwujud. Pukul 11 malam sudah bukaan 8 lalu bidan mengecek dan terkejutlah kami karena posisi si kecil kembali berubah yang seharusnya kepala di bawah menjadi pantat si kecil. Dokter secara mendadak langsung memutuskan operasi. Setelah Sastra keluar dan terdengar tangisan saya tidak sadarkan diri. Hari berikutnya Sastra demam tinggi. Setelah cek darah, hasilnya menunjukkan ada infeksi karena lekosit (sel darah putih) tinggi.

TUMBUH KEMBANG SASTRA
Di awal kehamilan saya sudah mengetahui bahwa anak pertama saya adalah anak laki-laki. Saya dan suami sudah membayangkan bagaimana lucunya Sastra ketika sudah aktif bermain, jalan-jalan keluarga dan semua kegiatan yang menyenangkan. Berhubung kami tidak merencanakan kehamilan Sastra, saya masih awam tentang apa itu tes TORCH, CMV, Rubela dan lain sebagainya.


Masuk usia 4 bulan saya mulai merasakan keanehan. Pertama, Sastra tidak mau melakukan kontak mata. Saya langsung browsing dan hasil pencarian saya menunjukkan bahwa hal tersebut adalah ciri-ciri anak autis. Tapi anak autis tidak bisa ketawa ketika diajak main, dan seringkali menunjukkan tingkah laku atau pola gerakan berulang. Waktu itu saya pikir sudah pasti anak saya autis, karena Sastra suka geleng-geleng kepala. Waktu itu kita yang masih awam tentang TORCH, cuma nanya-nanya aja ke ortu dan jawabannya ‘mungkin masih belum’. Hingga saatnya tiba, masuk usia 9 bulan usai imunisasi campak Sastra tiba-tiba lebih pendiam.

Awalnya Sastra suka mengangkat kedua tangannya tegak lurus ke depan sambal sedikit membungkuk. Semua keluarga mengira itu hanya respon kaget. Tetapi untuk memastikan keadaan si kecil, kami ke dokter anak dan Sastra epilepsy. Makin hari kejangnya makin parah berlangsung sebentar tapi berulang kali, bahkan lebih dari 10x. Sebelumnya Sastra sudah bisa duduk, tertawa seperti anak seusianya namun akibat dari kejang, ia mengalami regresi alias perkembangannya mundur dan bener-bener kayak bayi usia 1 bulan. Sastra hanya bisa telentang, miring aja gak bisa. Lalu seiring kejangnya tambah parah, Sastra sampai tidak bisa berekspresi, dia gak nangis meskipun lapar, haus, atau merasa kesakitan. Hati aku hancur sehancur-hancurnya melihatnya.

Ketika ke dokter anak saya disarankan untuk tes TORCH, sebagai langkah awal. Dikarenakan kendala biaya kami hanya ambil tes toxoplasma dan CMV, dan alhasil CMV nya IgGnya positif. Jadi tes TORCH itu ada dua IgG dan IgM, IgG ialah kekebalan yang terbentuk karena tubuh pernah terinfeksi, sedangkan IgM adalah kekebalan tubuh yang terbentuk saat kita sedang terinfeksi. Dari hasil tersebut kita mengetahui penyebab Sastra terkena epilepsi karena dia pernah kena CMV, soalnya IgG nya yang positif.

WEST SYNDROME
Kami memutuskan untuk pindah ke kota Solo, sekalian mencari tahu tentang kejangnya Sastra. Waktu di Solo, saya melakukan serangkaian tes, yaitu EEG (Electroencephalography) dan CT Scan. Dari situ ketahuan kalo Sastra terkena epilepsi jenis West Syndrome dan ada cairan di bagian depan otaknya, entah otaknya menyusut karena kejang atau karena virus tersebut. Penyusutan ini disebut Brain Athrophy yang menyerang otak depan dan samping, sehingga mempengaruhi kemampuan motorik dan bahasanya. Sastra menderita GDD (Global Development Delay) atau keterlambatan yang hampir umum. Bahkan di usia 4 tahun ini dia baru bisa duduk, dan minum susu sendiri, belum bisa berjalan, berkomunikasi atau bicara.

Sastra ketika Terapi

RUBELLANYA MANA?
Bagaimana bisa tahu kalau Sastra juga kena Rubella? Ketika hamil anak kedua saya memutuskan untuk Tes TORCH, waktu itu dokter menyarankan tes Toxoplasma, CMV, dan Rubella saja, karena katanya Herpes tidak begitu parah efeknya. Biaya tesnya habis sekitar Rp2,3 jutaan. Dari hasil tes tersebut, IgG CMV dan Rubella ternyata positif. Waktu itu agak deg-degan juga takutnya si anak kedua akan sama seperti kakaknya. Tetapi syukur hasil USG menunjukkan tidak ada kelainan, dan si Naya pun lahir sehat. Dari hasil IgG positif Rubella itu saya menerka mungkin sebenarnya Sastra juga terkena Rubella, karena saya memiliki riwayat Rubela.

APA ITU TORCH?
TORCH sebenarnya singkatan dari nama-nama virus (T) Toksoplasmosis, (O) Other Agent, (R) Rubella (juga dikenal sebagai Campak Jerman), (C) Cytomegalovirus, dan (H) Herpes Simplex. TORCH ini merupakan infeksi oleh salah satu virus ini dapat menyebabkan kumpulan gejala yaitu demam; kesulitan makan; area kecil perdarahan di bawah kulit, menyebabkan munculnya bintik-bintik kecil kemerahan atau keunguan; pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali); perubahan warna kekuningan pada kulit, bagian putih mata, dan selaput lendir (ikterus); gangguan pendengaran; kelainan mata; dan / atau gejala lainnya. Informasi lengkap bisa baca disini https://id.theasianparent.com/pemeriksaan-torch

Jika janin yang sedang berkembang terinfeksi oleh TORCH, hasil akhir kehamilan mungkin keguguran, lahir mati, pertumbuhan dan pematangan janin tertunda, atau persalinan dini. Selain itu, bayi baru lahir yang terinfeksi oleh salah satu agen TORCH dapat menyebabkan kelainan tambahan yang dapat bervariasi dalam derajat dan tingkat keparahan, tergantung pada tahap perkembangan janin saat infeksi dan / atau faktor lain. Nah, ini kalo kita terinfeksi saat masih trimester awal bisa jadi Sastra ebih kompleks, seperti katarak bawaan, tuli, dll, Alhamdulillah dia masih bisa melihat, ngoceh, itu aja aku dah seneng banget. https://id.theasianparent.com/

Pertama toksoplasmosis, yang sering dibilang karena kucing. Sebenarnya bukan kucingnya, tapi kotoran kucing. Tokso adalah penyakit menular yang disebabkan oleh organisme parasit mikroskopis yang disebut Toxoplasma gondii. Infeksi parasit ini, ditemukan di seluruh dunia, dapat diperoleh atau ditularkan ke janin yang sedang berkembang dari ibu yang terinfeksi selama kehamilan. Pada beberapa bayi baru lahir yang terkena dampak parah, Toksoplasmosis dapat kepala bayi mengalami ukuran kecil (mikrosefali) dengan kata lain otaknya gak bisa berkembang lagi. Dulu ketika masih fisioterapi di Solo, Sastra punya teman yang mengidap mikrosefali, akibatnya perkembangannya juga terhambat. Di usia yang mana harusnya sudah bisa merangkak, buat tengkurap aja dia belum bisa. Tokso juga menyebabkan peradangan pada lapisan mata tengah dan paling dalam (korioretinitis), endapan kalsium di otak (kalsifikasi intrakranial), dan / atau kelainan lainnya.

Kedua, rubella. Rubella adalah infeksi virus yang ditandai dengan demam, infeksi saluran pernapasan atas, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam kulit, dan nyeri sendi. Bayi baru lahir dan bayi yang terkena dampak parah mungkin mengalami gangguan penglihatan dan / atau pendengaran, kelainan jantung, timbunan kalsium di otak, dan / atau kelainan lainnya.
Ketiga Infeksi Cytomegalovirus, CMV adalah infeksi virus yang dapat terjadi selama kehamilan, setelah lahir, atau pada usia berapa pun. Pada bayi baru lahir yang terkena dampak parah, gejala dan temuan terkait mungkin termasuk keterbelakangan pertumbuhan, nah ini seperti yang Sastra alami. CMV juga menyebabkan mikrosefali sama seperti Tokso. Pernah waktu itu saya tinggal di Solo, seorang ibu terinfeksi CMV saat hamil di trimester pertama, dan hasilnya mengejutkan si debay saat di USG tidak memiliki jaringan otak, namun detak jantungnya masih ada. Alhasil dokter menyarankan untuk tidak meneruskan kehamilan. CMV menyebabkan pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali), radang hati (hepatitis), rendahnya kadar pigmen pembawa oksigen di darah akibat kerusakan dini sel darah merah (anemia hemolitik), timbunan kalsium di otak, dan / atau kelainan lainnya.

Keempat, Herpes Neonatal adalah kelainan langka yang menyerang bayi baru lahir yang terinfeksi virus Herpes simpleks (HSV). Gangguan ini bisa bervariasi dari yang ringan sampai yang parah. Dalam kebanyakan kasus, kelainan ini ditularkan ke bayi dari ibu yang terinfeksi. Jika seorang ibu mengalami wabah genital primer yang parah, ada kemungkinan ibu dapat menularkan infeksi tersebut ke janin. Setelah melahirkan, kontak langsung dengan luka herpes genital atau oral dapat menyebabkan herpes neonatal. Bayi baru lahir yang terkena dampak parah dapat mengembangkan lepuh berisi cairan pada kulit (vesikula kulit), lesi di area mulut, radang selaput lendir yang melapisi kelopak mata dan bagian putih mata (konjungtivitis), tonus otot yang berkurang secara tidak normal, radang hati ( hepatitis), kesulitan bernapas, dan / atau gejala dan temuan lainnya.

Sindrom TORCH terjadi akibat salah satu virus TORCH yang melewati plasenta selama kehamilan. Ini bisa banyak faktor, bisa karena kurang jaga kebersihan, bisa karena pas daya tahan tubuh rendah trus kita kena droplet atau ludah orang yang terinfeksi, dan masih banyak kemungkinan. Untuk TORCH sendiri dapat dicegah dengan vaksin.

Rubella itu tidak ada obatnya, tetapi imun kita otomatis akan melawan. Obat yang diberikan dokter biasanya cuma buat menghilangkan gejala penyerta seperti demam, neyri, flu dll. Tapi ngomongin soal TORCH, tidak semua bergejala ya, buktinya saya sama sekali pas hamil tidak pernah sakit, demam aja pun tidak. Tetapi ternyata terinfeksi, kalo kata trend corona sekarang sih OTG (Orang Tanpa Gejala). Jadi buat ibu yang imunnya bagus, sekalipun kena Rubella gak akan ada efek apa-apa. Ada juga yang Cuma kayak gejala orang mau flu, ada juga yang demam dan disertai bintik merah. Pokoknya tidak ada yang bisa menjadi patokan.

Apa yang dialami Sastra murni karena saya kena CMV dan Rubella. Bukan karena saya pernah usaha aborsi tapi gagal jadi berdampak ke kesehatan janin seperti yang pernah dikira orang. Saya bercerita bagian ini karena menurut saya bisa bermanfaat bagi calon ibu, pasutri baru yang mau promil, buat yang mau nikah, remaja gadis, ibu-ibu pokok buat semuanya deh.
Tips dari pengalaman saya :

  1. Usahakan kehamilan terencana dengan baik. Hal ini penting untuk kesiapan baik fisik, mental, maupun finansial. Meski banyak yang hamil duluan tapi bayinya sehat, tapi buktinya banyak juga yang sakit. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
  2. Ketika hamil tidak terencana, jangankan mau vaksin, mau cari tahu tentang infeksi TORCH ini pun kita gak paham. Jadi usahakan kita teredukasi juga terlebih dahulu. Utamanya persiapan tes kesehatan pra-pernikahan.
  3. Kehamilan yang dipersiapkan, tentu kita juga mempersiapkan finansial, jadi kalo ada apa-apa, misal saat mau promil butuh tes TORCH yang mahal, butuh perawatan dll, kitanya udah siap.

Terkadang kita sudah merasa cukup informasi mengenai kehamilan dari orang tua atau pengalaman teman-teman terdekat. Padahal banyak informasi penting yang banyak orang perhatikan atau disepelekan. Setelah saya mengalami sendiri akhirnya saya sadar, dan mulai berbagi kisah saya ke temen-temen deket saya dengan tujuan agar tidak mengalami hal seperti saya.


Untuk teman-teman yang akan menikah, atau bunda yang ingin melakukan program hamil sebaiknya mulai melakukan pre-marital check up. Walaupun menghabiskan banyak biaya ini jauh lebih penting karena menikah dan punya anak adalah investasi. Daripada uang habis buat foto prewed, mending buat tes kesehatan bukan?

Tidak ada salahnya untuk melakukan screening TORCH. Jika kalian belum pernah terkena dan belum punya kekebalan terhadap virus ini, kalian bisa vaksin. Namun, jika sudah terlanjur hamil jangan vaksin ya.
Semoga apa yang saya ceritakan bisa menjadi pembelajaran dan meningkatkan wawasan tentang pentingnya melakukan tes Kesehatan sebelum program kehamilan.

Dapat salam dari Sastra 🥰

Elegi Pagi Hari

Setiap membuka mata wajahmu yang pertama muncul di kepala. Seperti sebuah potret di dinding rumah tua. Memaksa untuk terus dipandang lama. Bukan lagi pertanyaan “Mengapa?” melainkan “Bagaimana?”

Bagaimana cara agar aku bisa lupa? Bagaimana cara untuk mengakhiri perasaan lara? Bagaimana cara berhenti menerka dan berharap perasaan masih sama? Bagaimana cara keluar dari rasa trauma? Aku sungguh sedang tidak percaya diri.

Berulang kali aku mengucap kata benci. Berniat menyakiti diri sendiri. Melarikan diri kesana kemari. Tapi tak kunjung menemukan pelipur hati. Tak ada jalan lain selain berhenti.

Kuutarakan semua dihadapan Tuhan. Menyelipkan untaian harapan. Memohon untuk bisa merelakan dan memaafkan. Lalu kutemukan diriku mulai menerima kenyataan. Dan hidup harus terus berjalan.